Inilah pelarianku.
Setiap kali aku duduk di sini, menyesap cairan hitam yang pahit berpadu
manis ini.
Setiap kali kuhirup aromanya dari asap yang mengepul dari cangkir putih
ini.
Setiap kali pula bibit-bibit kata baru tercurah dalam benakku.
Lalu dengan lincah jari-jariku menari, menyemaikan bulir demi bulir bibit
kata itu dalam kisah yang tengah kurangkai ini. Laptop-kulah tanahnya, dan keyboard
paculnya.
Saat bibit-bibit itu berbunga kelak, aku akan ingat bahwa kelahirannya terbantu
oleh kopi lezat di kedai langgananku ini.
Segala macam kopi pernah kucicipi, dari kopi Papua yang lembut hingga
kopi keras yang berasal dari tanah Gayo di Aceh dan Tana Toraja. Sesekali, aku
bahkan mencoba kopi-kopi impor termasuk kopi Santos dari Brasil dan
Yirgacheffe-Sidamo dari Ethiopia. Namun, dari segi aroma dan kelezatan, tak ada
kopi yang menandingi kopi termahal di dunia, kopi luwak.
Untuk hari ini, cukuplah kopi hitam dari daerah Lintong Nihuta, Tapanuli
Utara untuk menemaniku menabur ladang kisah terbaruku ini. Cita rasanya yang
seimbang nan halus, kental dan asam jadi bagai seekor lebah yang memilihkan
aroma bunga kata yang serasi dari taman aksara, lalu mencurahkan bibitnya dalam
benakku yang bagai tanah gembur.
Nyaris tiba-tiba, persemaianku ini terusik oleh sosok yang menghampiriku.
Betapa tidak, mata, hidung, mulutnya yang terangkai indah dibalut pula dengan
sosok tinggi nan tegap. Kulitnya masih tampak putih walau dirundung sinar
mentari senja yang makin meredup. Suara pria itu terdengar lembut saat berkata,
"Hai, Gita. Wah, hari ini kau pilih Mandailing ya?"
"Ini Lintong, Aaron," jawabku dengan nada sedikit ketus.
"Aromanya seperti campuran kacang, coklat, buah dan mentega, tak seperti
kopi Mandailing yang seperti bunga."
"Haha, benar juga kau." Aaron mengusap rambutnya yang
mengembang indah dan terurai hingga hampir ke pangkal leher jenjangnya. "Sepertinya
aku harus belajar banyak padamu dalam hal pengetahuan tentang kopi. Atau bisa
saja penciumanku agak kurang peka akibat terpapar polusi sepanjang jalan tadi."
Ia lantas duduk berseberangan denganku di meja kafe ini.
Astaga, ingin sekali mataku terus menyesapi senyumnya yang lebih nikmat
dari kopiku ini.
Kembali suara lembut Aaron membelaiku, "Nah Git, bagaimana dengan rencana
kita akhir pekan ini? Film yang kautunggu-tunggu sudah tayang di bioskop, tuh.
Ayo kita nonton."
"Ngg, sepertinya harus kulewatkan dulu deh," ujarku. "Deadline dari penerbit sudah dekat, aku
harus menyelesaikan novelku ini sebelum akhir bulan ini."
Senyum di wajah Aaron sirna seketika. Ia lantas menaikkan bahu. "Ah,
gagal lagi deh. Akhir minggu lalu dan yang sebelum-sebelumnyapun kau juga
sibuk. Yah, sebagai orang kantoran aku sih maklum, karena aku sendiripun juga
baru sempat kencan Sabtu-Minggu saja. Tapi kau sibuk terus sepanjang minggu
hingga tak ada hari libur sama sekali. Kalau begini terus, mana bisa ada
kemajuan dalam hal hubungan sosial?"
Aku jelas protes, "Ya cobalah mengerti, Ron. Profesiku ini 'kan
menuntutku agar selalu menyelesaikan karya-karyaku tepat waktu. Kalau aku
terlambat terus, kontrakku dengan penerbit pasti bakal putus."
Aaron terdiam sejenak, lalu menghirup Iced
Caramel House Blend Macchiato pesanannya.
Lalu, pria itu menatapku lekat-lekat, ada bersit kekecewaan di matanya.
"Dunia penerbitan sudah hampir sama menyebalkan dengan bisnis hiburan. Mereka
menyita hampir seluruh waktu orang-orang berbakat, bahkan juga waktu untuk diri
sendiri dan bersosialisasi pula."
"Yah, mau bilang apa. Aku bahkan tak punya waktu untuk membaca buku
lagi."
"Terus terang, aku rindu masa kita pertama kali bertemu, di kafe ini
pula. Waktu itu, kau masih penulis pemula yang belum punya karya best seller seperti sekarang. Waktu itu,
kau selalu amat antusias bicara denganku tentang kopi, tentang pemikiran dan
pandanganmu terhadap kehidupan. Sekarang, kau sudah jadi bagai orang lain. Sejak
karya ketigamu yang fenomenal dan inspiratif itu meledak di pasaran, kakimu
seolah-olah sudah tak lagi menjejak bumi."
"Ah, tidak kok, Ron. Aku masih Gita yang dulu..."
"Gita yang dulu selalu menyambutku di sini dengan senyum manis,
bukan dengan dahi berkerut seolah-olah aku ini hanya pengganggu. Sadarilah itu,
lalu cobalah berubah."
Lagi-lagi dahiku berkerut, tanda kesabaranku makin menipis. Nada bicaraku
juga agak meninggi. "Kumohon Aaron, jadilah sedikit lebih dewasa dan
pahamilah diriku. Seperti inilah kenyataan hidup dan tuntutan profesiku.
Bukankah kau sama saja, di hari-hari kerja kau amat sibuk hingga lembur sampai
jauh malam? Coba ingat, sudah berapa kali kau mengeluh di hadapanku tentang
gajimu yang tak naik-naik dan hanya satu kali mendapat kenaikan jabatan menjadi
supervisor?"
"Ah, itu beda," sergah Aaron, nada bicaranya juga ikut ketus.
"Setidaknya Sabtu-Mingguku tak terganggu..."
"Tapi bagaimana andai kau bekerja di perusahaan yang mengharuskanmu
masuk kerja Sabtu-Minggu pula?"
"Pasti kutolak pekerjaan itu mentah-mentah."
"Wah, enak sekali," sergahku. "Tapi maaf, tak semua orang
bisa seberuntung dan seenak dirimu, bisa memilih pekerjaan yang kauinginkan
sesukamu. Aku juga tak bisa memilih mengikat kontrak dengan penerbit yang lebih
'santai'. Masalahnya, prinsip kerja kebanyakan penerbit terkemuka di negeri ini
sama. Kalau kau ingin terus terkenal sebagai penulis, kau harus terus-menerus
menelurkan karya-karya baru secara berkala. Sudahlah, aku tak mau membahas hal
yang tak bisa kuubah. Aku hanya ingin tanya, apa kau masih mencintaiku,
Aaron?"
Aaron menjawab dengan lugas, "Tentu saja aku masih mencintaimu,
Gita."
"Aku juga masih cinta kamu, Aaron. Karena itulah kuminta dengan
sangat, tolong bersabarlah. Setelah novelku rampung akhir bulan ini dan
kuserahkan pada editorku, aku akan punya banyak waktu luang. Kalau perlu, kita
bisa ke bioskop setiap hari."
"Akhir bulan ini, ya..."
Ekspresi wajah Aaron berubah, seolah sesuatu tengah merasuki dirinya. Ia
lantas memaksakan senyum getir. "Baiklah, kupegang janjimu itu. Oh ya, aku
jadi ingat, aku harus mengerjakan sesuatu di rumah. Aku pulang duluan,
ya."
"Tunggulah sebentar lagi, Ron. Kita pulang sama-sama saja setelah
kopiku habis."
Aaron menggeleng. "Aku harus menyempurnakan materi presentasi untuk
di kantor besok, mumpung masih segar dan cukup tidur nanti."
"Tuh 'kan, kau juga sibuk tapi sempat-sempatnya kemari."
"Aku hanya ingin melihat senyummu, Git. Tapi rupanya hari ini senyummu
semahal sebungkus biji kopi luwak."
Tanpa menunggu reaksiku, Aaron menenggak kopi dinginnya hingga tandas. Ia
lantas bangkit dari kursinya, mengecup keningku dan melangkah ke kasir.
"Tak usah, Ron. Aku saja yang bayar semua," seruku.
Namun Aaron tetap menyerahkan kartu kreditnya di tangan petugas kasir.
Setelah transaksi selesai, Aaron melambai ke arahku sambil berseru,
"Sampai jumpa lagi, Gita." Lalu ia melangkah keluar dari kafe.
"Sampai jumpa lagi?" Apa maksudnya itu? Dadaku tersentak bagai
tersengat alat pacu jantung. Firasatku berakat, ada suatu hal lain yang Aaron
rahasiakan dariku.
Ah, mungkin itu hanya prasangkaku saja. Mungkin segumpal pikiran bagai
awan mendung tengah merundung Aaron saat ini. Mungkin kata-kata itu terlontar
begitu saja karena terburu-buru. Lagipula Aaron bukan penyair yang mahir
merangkai kata-kata indah.
Nanti saja kupikirkan itu. Sekarang, ada tenggat waktu yang harus
kukejar.
Sekali lagi kuhirup kopiku. Namun kali ini tak satupun kata terbit dalam
benakku.
Apa ini karena kopi Lintongku sudah dingin, sehingga khasiatnya hilang?
Tidak juga. Kebuntuan aksara ini belum pernah terjadi padaku sebelumnya.
Kuhirup sekali lagi.
Saat berikutnya, kupegangi kepalaku dengan dua tangan.
Sampai jumpa lagi, Gita.
Aaron, mengapa hanya kata-katamu saja yang terngiang di benakku kini?
Sungguh menyebalkan. Kalau tahu begini jadinya, seharusnya aku pesan kopi
paling keras macam Aceh Gayo atau Toraja Kalosi saja tadi.
==oOo==
Yang lebih menyesakkan lagi, Aaron tak pernah menemuiku di kafe langgananku
lagi. Aku telah mencoba menghubunginya dengan pelbagai cara, bahkan sampai
mengirim surel padanya, namun seiring berlalunya hari demi hari, sama sekali
tak ada jawaban darinya. Mungkin Aaron sengaja menjauh dulu sejenak, memberiku
kesempatan berkonsentrasi pada novel garapanku ini.
Saat akhir bulan tiba, akhirnya aku berhasil mengetikkan kata terakhir di
halaman terakhir naskahku. Tak lama setelah aku mengirimkan soft copy-nya ke penerbit, editorku
berkata, "Wow, kisah ini bakal mampu menggugah perasaan banyak pembaca,
calon best seller berikutnya. Selamat
ya, Gita, sekali lagi kau berhasil menciptakan mahakarya."
"Terima kasih," jawabku. "Nah, sekarang aku butuh
istirahat sejenak, berlibur dulu ke..."
Si editor menyela, "Maaf, Gita. Belum saatnya kau berlibur. Sesuai
kontrak, kau harus membuat novel lagi untuk jadwal terbit sekitar Natal dan
Tahun Baru."
"T-tapi aku belum dapat ide dan ilham lagi..."
"Kalau belum, carilah segera. Kalau kau sampai terlambat memenuhi deadline, kontrakmu berakhir dan
sebaiknya kau mencari profesi baru selain novelis profesional."
Mendengar itu, keringat sedingin es meluncur dari kening hingga ke
daguku.
Dengan langkah-langkah gontai, aku keluar dari taksi yang membawaku dari
kantor penerbit ke kafe langgananku, tempat pelarianku ini. Sungguh, saat ini
aku benar-benar butuh mencurahkan segala keresahan dalam hatiku pada seseorang.
Tepatnya, orang yang mau meluangkan waktunya yang berharga untuk berusaha
memahamiku. Aku butuh Aaron.
Namun, yang menyambutku di dalam kafe itu bukan Aaron, melainkan seorang
pria lain, barista kafe itu. "Hai, Gita, bisa bicara sebentar?" Ya, barista
yang satu itu cukup mengenalku sebagai salah seorang pelanggan terbaik di kafe
ini, dan aku juga cukup akrab dengannya.
"Tentu bisa, Mas Guntur. Ada apa ya?" Aku bertanya balik.
"Tadi Miriam, adik Aaron datang saat kafe baru buka. Ia meminta saya
membuatkan kopi untukmu, sekalian memberimu surat ini." Guntur mengulurkan
sepucuk surat dalam amplop putih.
Aku mengambil surat itu seraya bertanya, "Kopi apa?"
"Lewat adiknya, Aaron berpesan agar kamu membaca surat ini baik-baik
dulu, baru menebak jenis dan daerah asal kopi itu, itu saja. Ia memohon pada
saya untuk menyampaikan kopi dan surat padamu saja. Jadi yah, demi salah satu
pelanggan terbaik, saya menghormati kehendaknya dan membantunya dengan senang
hati."
"Baiklah, mungkin Aaron ingin memberiku kejutan yang romantis,"
ujarku sambil mengedipkan sebelah mata, lalu duduk di tempat dudukku yang biasa
dekat jendela. "Silakan buatkan kopinya, Mas Guntur."
Setelah si barista kembali ke meja raciknya, barulah kubuka amplop itu
dan membaca surat dengan tulisan "cakar ayam" ala Aaron di dalamnya.
Buat Gita terlegit dan termanis,
Maaf kalau aku baru menghubungimu
sekarang, lewat surat pula.
Aku tahu kau sangat sibuk akhir-akhir
ini, Git. Bahkan kurasa, walau novelmu itu sudah rampung, kau pasti akan sibuk
membuat novel baru lagi.
Tanpa sadar aku tertunduk. Ya, memang itulah yang akan kulakukan mulai
besok. Membuat novel baru lagi untuk memenuhi tuntutan kontrak.
Kau sudah hebat sekarang. Dari sekian
banyak penulis di Indonesia, hanya segelintir yang bisa menjadikan
tulis-menulis cerita, novel dan sebagainya sebagai profesi tetap. Dan kau
adalah satu dari segelintir itu.
Ah, aku belum hebat kok. Aku belum jadi kaya-raya seperti J. K. Rowling.
Melihat keberhasilanmu ini, aku jadi
sadar bahwa selama ini aku hanya berjalan di tempat saja. Selama ini aku hanya
melakukan pekerjaan yang itu-itu saja tanpa perkembangan yang berarti. Karena
itulah sekarang aku memberanikan diri melakukan perubahan besar. Kini aku
sedang melakukan pertaruhan agar aku bisa setidaknya menyejajarkan diri
denganmu sebagai pribadi yang sukses dan mapan.
Namun, di samping itu aku juga harus
ingat dan harus mengingatkanmu agar tak lupa daratan bilamana berhasil meraih
kesuksesan. Agar pandai-pandai membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan
pribadi masing-masing. Siapa tahu, kita bisa bersama membina keluarga kelak.
Ya, saat ini aku bukan berada di
Jakarta. Jadi, bila kau masih membutuhkanku, bila aku masih mendiami tempat
istimewa dalam hatimu, minumlah kopi yang kupesankan untukmu itu dan tebaklah
daerah asalnya dari rasa dan aromanya. Kuberi petunjuk, aku sedang berada di
dataran tinggi, di kawasan pertemuan dua lereng gunung, di tempat kopi yang
kauminum itu berasal. Datanglah dan temui aku, akan kutawarkan masa depan
untukmu.
Atau kau lebih suka berkutat dalam
duniamu sendiri, tanpa diriku di dalamnya?
Keputusan ada di tanganmu, Gita.
Pilihlah.
Salam sayang selalu, Aaron.
Aku terkesiap, tak kusangka Aaron bisa sepuitis ini. Namun aku lebih
terperangah dengan pilihan yang ia sodorkan padaku. Teganya kau, Aaron. Kau
sama saja dengan penerbit novelku, memaksaku memilih satu dan melepaskan yang
lain.
"Ini kopinya, silakan dinikmati." Saat itu pula, secangkir kopi
hitam yang disajikan Guntur telah mengepulkan asap harum di atas mejaku. Aroma
kuat khas kopi yang baru diseduh bercampur samar-samar wangi bunga dan karamel
merasuki penciumanku.
Kutatap sajian itu sejenak. Apapun keputusanku, tak ada salahnya
pemberian Aaron ini kucicipi. Mungkin kafein bisa membantu menjernihkan
pikiranku yang agak keruh saat ini.
Maka, kusesap kopi hitam itu.
Nikmat sekali. Cita rasa keasaman dan kekentalannya sedang dan seimbang,
khas kopi Indonesia. Selain rasa asli kopi, ada sebersit campuran rasa kacang,
jeruk dan coklat di sana.
Tanpa sadar, benakku mencoba mengingat-ingat daerah asal kopi ini. Mungkin
aku pernah mencicipi kopi jenis ini di kafe ini atau kafe-kafe lainnya. Mungkin
baru-baru ini, atau mungkin pula sudah beberapa bulan atau entah berapa tahun
silam. Ini bukan kopi paling keras, namun rasanya paling beragam dan paling
lezat di antara semua kopi yang pernah kucicipi, setidaknya bagi diriku
pribadi.
Tiba-tiba aku terkesiap, menyadari sesuatu. Jangan-jangan...
Aaron ada di salah satu daerah itu. Tapi, di mana persisnya?
Mencari tahu tentang tempat Aaron berada mungkin cukup mudah.
Masalahnya, maukah aku menemui Aaron di sana, dengan segala resikonya?
==oOo==
Dari arah timur, matahari seakan sedang mendaki salah satu gunung. Tak
terlalu lama lagi, ia akan melampaui puncak gunung itu dan berdiam di puncak
langit, di puncak hari.
Di sebelah gunung bernama Inerie itu, tampak bayangan puncak gunung
Abulobo di balik awan putih nan tebal. Seperti petunjuk Aaron, kini aku tengah
berjalan di tanah Ngadha, sebuah dataran tinggi yang diapit kedua gunung Inerie
dan Abulobo di daerah Bajawa, pulau Flores.
Seperti dugaanku, tanaman kopi terhampar di dataran itu sejauh mata
memandang. Jelas sudah, perkebunan inilah tempat asal kopi Flores Bajawa yang
terkenal amat lezat itu.
Yang lalu menarik perhatianku adalah orang-orang yang sedang memanen,
memetik buah kopi yang sengaja mereka pilih sebulir demi sebulir dari tiap
tanaman itu. Anehnya, sambil bekerja mereka malah bernyanyi riang, melantunkan
lagu daerah Bajawa yang tak kumengerti bahasanya.
Entah karena perasaanku yang telah terasah kuat terhadap Aaron, tak
terlalu lama kemudian aku melihat sosoknya yang tinggi dan tegap di antara orang-orang
yang mengenakan topi petani itu. Aaron tampak sedang ikut memetik buah kopi,
sambil sesekali mencium aromanya.
Tentunya aroma saat biji kopi masih dalam buahnya berbeda dengan biji
kopi mentah, apalagi yang sudah dipanggang hingga coklat kehitaman. Namun
kurasa memang sudah tugas petani untuk membedakan mutu kopi yang mereka petik,
lalu memilah-milah dan memasukkan kopi-kopi itu dalam keranjang-keranjang yang
mereka sandang.
Sengaja aku menghampiri si "petani tampan" itu hingga cukup
dekat, lalu hanya menunggu dan mengamatinya terus bekerja tanpa memanggilnya.
Hingga akhirnya Aaron terkesiap dan menoleh ke arahku. Matanya
terbelalak. "A-astaga, Gita! Bilang-bilang dulu kalau mau kemari dong! Aku
'kan bisa menjemputmu di bandara!"
Kutanggapi dia dengan santai,
"Siapa suruh kau tak menjawab semua pesan dan teleponku, lalu menghilang
begitu saja kemari. Sekarang gantian aku yang memberimu kejutan. Ta-daa!"
Kurentangkan kedua tanganku, kusilangkan kakiku seperti pesulap yang baru
selesai beratraksi.
"Hahaha, maaf ya, Git. Yang penting aku senang akhirnya kau kemari.
Ayo, kita bicara sambil jalan ke rumahku."
Aku ternganga bukan buatan. "Rumahmu? Kamu orang Bajawa?"
Aaron hanya tersenyum dan mengangguk. Ia lantas berjalan beriringan
denganku menyusuri jalan setapak yang membelah kebun kopi itu.
"Ayahku adalah pemilik kebun ini. Sebagai anak tengah, aku diberi
banyak kebebasan. Ketenaran kopi Flores memampukan ayah membiayai kuliahku di
Cambridge. Namun setelah aku terjun ke dunia kerja di Jakarta, aku tak habis
pikir mengapa karirku malah seperti jalan di tempat. Padahal aku sudah berusaha
bekerja dengan rajin dan mengamalkan ilmu yang kudapat dari kuliah
sebaik-baiknya. Karirmu sebagai penulis profesional, keberhasilanmu mencapai
impianmu membuatku menyadari sesuatu yang amat penting, tapi selama ini
kulewatkan begitu saja."
"Apa itu?" tanyaku.
"Ternyata aku punya impianku sendiri, yaitu melestarikan kopi Flores
lewat kafe. Namun aku sadar, ternyata pengetahuanku tentang kopi masih kalah
jauh dibanding kamu, Git. Karena itulah aku memutuskan untuk mengundurkan diri
dari kantorku, lalu kembali ke kampung halamanku untuk belajar lebih jauh
tentang kopi. Modal sudah ada, yaitu perkebunan kopi Flores. Kurasa sekaranglah
saatnya untuk mendayagunakan modal itu sebaik-baiknya."
Aku mengerutkan dahi, nada bicaraku mulai sedikit ketus. "Lantas, untuk
apa kau memintaku menemuimu di sini? Kau 'kan tinggal bilang saja di telepon
atau pamitan dulu padaku di Jakarta. Toh aku bisa mengerti kok, tak perlu
sampai harus jauh-jauh datang kemari."
"Ada dua alasan. Pertama, aku membutuhkan bantuanmu untuk mengelola
Kafe Bajawa. Pengetahuanmu yang luas tentang kopi sangat penting agar usaha ini
bisa berkembang."
"Oke, tak masalah," jawabku. Nada bicaraku memberi kesan aku
sudah menduga alasan pertama ini sejak awal. "Asal kau tahu saja, Ron.
Sebelum kemari aku sudah bilang pada editorku aku benar-benar butuh liburan,
istirahat sebentar dari kepenatan akibat menulis terus-menerus sambil mencari
inspirasi untuk novel baru. Kalau pihak penerbit tak memahami itu, aku tinggal
mencari penerbit lain yang lebih memahami kebebasan berkarya para
penulisnya."
Aaron bersiul kagum. "Lalu, apa jawaban mereka?"
Aku menaikkan bahu. "Aku belum tahu itu dan aku tak punya waktu
untuk menunggu mereka mengulur-ulur waktu. Jadi, di sinilah aku dengan segala
resikonya."
"Nah, itu baru Gita yang hebat. Penulis profesional, berbakat tapi
punya prinsip. Pasti akan banyak penerbit yang berebut menerbitkan
karya-karyamu."
Wajahku bersemu merah. "Ah, kamu ini bisa saja, Ron. Oya, lantas apa
alasan keduamu?"
"Aku sengaja membuatmu berpikir lebih jauh dan memilih cinta atau
cita-cita. Ternyata kau memilih aku tanpa harus kehilangan cita-cita dan
mimpimu. Coba pikir, dengan memiliki kafe sendiri, kau bisa mendapatkan kopi
yang kauinginkan dengan gratis, ditambah waktu yang lebih seimbang untuk
menulis, berbisnis, kehidupan pribadi dan... berkeluarga."
Jawabanku bukanlah kata-kata, melainkan senyumku yang termanis, hanya
untuk Aaron seorang. Spontan, kukecup lembut pipi kekasihku itu. Ya, kusadari
kini sebuah jalan baru telah terbuka untukku. Jalan menuju
kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih luas, mencapai impian-impian baru yang
mewarnai kehidupan dengan berjuta makna.
Berkat Aaron, aku tak perlu lagi mencari pelarian lewat kopi.
Kini, aku telah menemukan tempat untuk pulang.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
#MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Sumber foto:
Peta Bajawa: Toko Kopi Aroma Nusantara, Mal Ambassador Lt. 4, Jakarta @aromanusantara
Panorama Bajawa: http://myforesthouse.blogspot.co.id/2013/12/kopi-flores-bajawa.html