The Wedding Bouquet - http://www.imageof.net/wallpaper/Stunning-Beauty-Bouquet/ |
Di tiap pesta pernikahan, selalu ada
makhluk yang bersuara paling keras. Ia selalu berusaha agar para hadirin
memperhatikan jalannya upacara pernikahan. Makhluk tersebut tak lain adalah MC
alias pembawa acara.
Seperti yang terjadi pada pesta
pernikahan dalam kisah ini, ia berseru, “Satu, dua, tiga!”
Tiba-tiba sebuah benda terlempar dari
arah mimbar, melambung tinggi, tinggi... lalu terjun bebas ke arah sekumpulan
tangan yang menggapai-gapai hendak menangkapnya.
Bagai atlit rugby kawakan, seorang tamu pria menangkap benda itu di pelukannya.
Melihat benda yang ternyata sebuah karangan bunga itu, mata pria itu berbinar
dan senyum mempertampan parasnya.
Bunga-bunga di karangan itu tampak serba
putih, dengan pusatnya berbentuk bulatan kuning. Ini bunga sungguhan, terbukti
dari wangi menyegarkan yang ditebarnya.
“Buket keempat. Tinggal satu lagi,”
gumamnya tanpa suara.
“Ini dia, si pria beruntung. Silakan naik
ke panggung,” ujar pemandu acara sementara si penangkap buket naik ke panggung
dan bersalaman dengan kedua mempelai.
“Siapa nama anda?” tanya si pria pembawa
acara yang jasnya berkilap, kontras dengan wajah dan perawakannya yang agak
gemuk sambil mengulum senyum dibuat-buat.
“Kendra.”
“Datang bersama siapa ke pesta ini?”
“Saya datang sendirian.”
“Sudah punya pacar, Kendra?”
“Nggg... Itu rahasia.”
“Wow, pria misterius rupanya. Yang pasti,
anda beruntung dua kali lipat malam ini, karena selain dapat hadiah, jodoh anda
sudah dekat. Percaya atau tidak, kemungkinan besar andalah yang akan menikah
segera setelah kedua mempelai ini.”
Pasang senyum sesopan-sopannya, Ken hanya
mengucapkan terima kasih sekali lagi, menerima hadiahnya dan turun dari
panggung. Senyum di wajah tampannya sirna seketika, diganti dengan wajah serius
nan muram.
“Hai!” Seorang wanita muncul menyapa Ken.
Wajahnya bisa dibilang cukup manis, postur tubuhnya yang pendek dan agak “montok”
nampak sedikit lebih langsing berkat tatanan rambut hitamnya yang terurai
panjang dan lurus.
Setelah mendapat perhatian Ken, wanita
itu melanjutkan sapaannya, “Kamu Kendra, ya? Masih ingat aku? Aku Tania, kita
pernah satu kelas jurusan di kampus dulu.”
Wajah Ken berubah cerah. “Tania? Oh, ya,
ya! Tentu aku ingat! Wah, tampangmu banyak... berubah, ya. Jadi pangling aku.”
“Haha, bisa saja. Kau juga banyak
berubah, sampai aku, sahabat lamamu saja tak mengenalimu sampai MC menyebut
namamu tadi.”
Pembicaraan Ken dan Tania berlanjut ke
basa-basi soal pekerjaan, status yang sama-sama jomblo dan sedikit nostalgia
masa kuliah.
Sampai akhirnya Tania berujar, “Wah,
hadiahnya untukku? Terima kasih, ya! Dan buketnya… hmmm, bunganya serba putih
dan wangi.”
“Memangnya itu bunga apa, Tan?” Ken
pasang wajah melongo.
“Masa’ kamu nggak tahu? Ini bunga daisy, dirangkai dalam buket pengantin
ini sebagai tanda dua jiwa yang mengikat janji untuk selalu berbagi rasa,
bersatu hati selama hayat.”
Kendra terperangah. Baru kini ia
menyadari bahwa setiap karangan bunga pengantin memiliki arti tersendiri, dan
teringat arti pernikahan yang sesungguhnya. Tak sengaja matanya menatap wajah
Tania, ada rasa hangat namun aneh merasuki relung hatinya.
Tiba-tiba, Tania berseru, “Hei, Ken!
Haloo? Ada Ken di sana?”
Ken tersentak dari lamunannya. “Eh, ya!
Maaf. Aku hanya memikirkan kata-katamu tentang arti bunga itu tadi.”
“Wah, serius sekali kau, Ken. Santailah,
nikmati saja pestanya.”
“Haha, tentu saja. Oh ya, makasih kau
sudah memfotoku dengan buket ini. Lihat, sudah ku-unggah ke Facebook.” Kendra memperlihatkan layar Blackberry-nya pada Tania. Sesaat
kemudian, wajah wanita itu tampak keheranan.
“Lho, keterangan foto ini... buket
keempat. Apa maksudnya?”
Sesaat Ken tampak ragu, lalu ia menghela
napas dan menjawab, “Yah, ceritanya panjang, Tan. Asal tahu saja, ini buket
keempat yang berhasil kutangkap selama dua tahun ini, setelah puluhan kali
kurang beruntung.”
“Empat kali dalam dua tahun? Apa kau ini
maniak penangkap buket atau semacamnya?” Nada bicara Tania seakan bercanda.
“Atau jangan-jangan, kau percaya pada takhayul ala Barat itu?”
Ken terdiam sejenak, terkesan tersinggung
oleh canda Tania itu. Sebelum wanita itu berbuat apa-apa, Ken angkat bicara,
“Masalahnya tak sesederhana itu, Tan. Seperti kataku tadi, ceritanya panjang
dan itu sepenuhnya masalah pribadiku sendiri.
Tuh, dengar, kita dipanggil untuk berfoto
bersama pengantin dan teman-teman kampus lainnya. Ayo kita ke sana.”
Tania hanya bisa menghela napas,
melangkah mengikuti pria misterius itu dengan rasa penasaran tergurat di
kerutan dahi dan lekukan mata jelinya.
==oOo==
Beberapa minggu kemudian, di resepsi
lain...
Buket melayang tinggi, tinggi, jauh ke
belakang...
Dan mendarat di genggaman seorang tamu
wanita.
Ken mengelus-elus rambut hitam pendeknya
sambil berdecak, “Ah, gagal. Aku sudah berdiri di deret paling depan, tapi
buketnya terlalu tinggi untuk dijangkau.”
“Maaf, anda belum beruntung, Pak Kendra,”
canda Tania yang datang bersama Ken di resepsi ini. Dengan status sebagai
pacar, tentunya. “Sekarang, sesuai janjimu, ceritakan padaku apa yang
menyebabkan kau serius sekali soal tangkap-menangkap buket ini, bagaikan soal
hidup dan mati.”
“Oke, Tan, oke.” Ken berdehem.
“Ceritanya, aku dulu pernah pacaran dengan Priska, teman kuliah kita juga.”
Tania terperangah. “Priska? Priska yang
paranormal dan tampangnya seperti supermodel itu?”
“Yap,
persis. Nah, ceritanya dua tahun yang lalu kami putus karena Priska menganggap
aku kurang mapan untuk ukurannya. Parahnya lagi, dia menuduhku telah menipunya
selama ini, menyia-nyiakan lima
tahun umurnya, jadi Priska membalaskan dendamnya dengan mengenakan kutukan
padaku.”
“Haa? Kutukan?” Tania ternganga, tak percaya
pendengarannya.
“Kutukan, guna-guna, tenung, pelet, jampi
dan teman-teman sekampusnya. Nah, Priska mengutuk aku takkan bisa menikah
seumur hidup sebelum aku menangkap lima
karangan bunga yang dilempar pengantin saat resepsi pernikahan.”
“Gila, kutukan yang aneh. Bukankah
tradisi lempar bunga itu berasal dari anggapan bahwa orang yang menangkapnya
akan menikah berikutnya setelah pengantin yang melemparnya, yang pertama di
antara hadirin yang belum menikah?”
“Bisa saja itu jadi kenyataan, namun
menurutku sebabnya hanya kebetulan saja, tak ada yang mistis tentang itu.
Masalahnya yang menyebutkan kutukan itu adalah tukang tenung paranormal, jadi
percaya atau tidak aku harus berusaha menangkap lima buket, dan aku tahu perlu banyak
keberuntungan untuk menangkap satu buket saja.”
“Dan kau sudah menangkap empat, bukan?
Itu jelas sangat, sangat beruntung.”
“Ya, tapi tampaknya keberuntunganku itu
sudah menipis. Tinggal satu buket lagi, sudah tiga kali coba dan tak satupun
yang mampir ke jangkauanku seolah sengaja menghindariku. Sedang mogok anti-Ken,
kah?”
Tania tertawa kecil, lalu menggamit
lengan Ken dengan mesra. “Entah berapa kali lagi kau akan mencoba menangkap
buket kelima, yang penting aku akan terus menemanimu dan mendukungmu. Tanpa embel-embel
‘syarat dan ketentuan berlaku’, pastinya.”
Sepasang mata Ken berkaca-kaca, dan ia
balas membelai rambut hitam Tania yang bersanggul indah itu, memancarkan isi
hatinya tanpa kata-kata.
==oOo==
Shasta Daisy - Sumber (lihat di bawah): Gunawan Green Glory |
Tiga bulan kemudian, sekali lagi Ken
berada di antara sekumpulan tamu tepat di depan panggung balairung resepsi.
Ekspresi wajahnya kali ini tampak santai, tak harap-harap cemas seperti
sebelumnya.
Sesekali ia melirik, melempar senyum pada
Tania yang berdiri tak jauh di sana,
di luar kerumunan. Tania mengacungkan telunjuknya dan Ken mengangguk. Mengerti.
Tinggal
satu lagi. Satu buket terakhir dan kutukanku akan berakhir, batinnya.
Terdengar suara pembawa acara dari
loudspeaker, “Tiga, dua, satu, LEMPAR!”
Buket melambung tinggi, hampir menyentuh
langit-langit, lalu turun, turun. Wajah Ken tampak cerah. Buket mengarah ke
tangannya yang terulur tinggi. Ia menekuk lututnya sedikit, ambil ancang-ancang
untuk melompat seperti Kobe Bryant yang akan melesakkan slam dunk di pertandingan bola basket NBA...
Tiba-tiba Ken berteriak, merengkuh
dadanya seperti terkena serangan jantung mendadak. Ia roboh, meringkuk di
lantai marmer.
Seluruh hadirin dan kerumunan di tengah
balairung pesta itu terlonjak mundur dan bahkan ada yang menjerit terkejut.
Bagaimana tidak, pria yang meringkuk itu
lalu berguling-gulingan di lantai. Tubuhnya berguncang, kejang-kejang seperti
tersengat listrik sepuluh ribu volt.
Tania langsung menghambur ke tengah,
berlutut di samping Ken dan berteriak, “Tolongg! Toloong! Ken! Kenapa begini?
Tolong!!”
Dengan sigap empat petugas pesta
berseragam rompi ungu mencekal tangan dan kaki Ken dan menyeretnya ke sudut
balairung. Masih kejang. Ini jelas gejala kesurupan.
“Tolong, Mas, adakah orang di sini yang
bisa menolongnya?” Tania berseru panik.
“Tenang, Mbak. Salah satu petugas kami
sedang menelepon rumah sakit terdekat,” kata pria petugas pesta. “Tapi – maaf
kalau saya lancang, Mbak – Mas ini lebih butuh paranormal daripada dokter.”
Paranormal? Tania tersentak. Ia bangkit lalu melihat ke
sekeliling balairung.
Beberapa saat kemudian matanya terbelalak
dan kaki-kaki Tania berjalan ke arah seorang wanita yang berpenampilan bak
supermodel dengan rambut panjang berombak bersepuh highlight hijau.
Mata indah wanita itu menatap tajam dan
mulutnya berkomat-kamit, tak kedengaran di balik lautan lagu pesta dan
riuh-rendah suara para hadirin.
“PRISKA!” Tania menghardik keras.
Si gadis paranormal berhenti
berkomat-kamit. Ia lalu menyunggingkan senyum mencemooh di bibir merahnya yang
bak delima merekah. “Wah-wah, rupanya ada sobat lama, Tania si Marmut Bulat. Ada apa?”
“Sudahlah, jangan pura-pura, Pris. Aku
sudah tahu seluruh duduk perkaranya. Pasti kau biang keladinya, tak lain dan
tak bukan. Cabut guna-gunamu dari Kendra sekarang juga, atau aku akan lapor
polisi.”
“Hah?” Wajah Priska terkejut dibuat-buat.
“Lantas apa yang akan mereka lakukan? Menangkapku? Mana buktinya? Ken si penipu
itu pasti hanya kesurupan sendiri.”
“Keterlaluan kau, Priska. Kau menggunakan
kemampuan pemberian Tuhan padamu untuk balas dendam, memuaskan egomu sendiri.
Kau malah belajar ilmu hitam yang bisa mencelakakan orang lain. Bukankah itu
berarti kau menghina Tuhan? Apa kau tak takut kena murkaNya?”
“Ah! Masa bodoh dengan semua itu. Yang
penting dendamku harus terbalas supaya jiwaku puas. Tahu apa kau tentang derita
jiwaku ini? Lima
tahun tersia-sia demi penipu itu. Mana janjinya? Melindungiku? Membahagiakanku?
Menghidupi dirinya sendiri saja sudah pas-pasan, apalagi menghidupi keluarga?
Di Jakarta ini semuanya mahal, lho. Biaya hidup, pendidikan anak, rumah
sakit... Memangnya dia sanggup?”
Tentu Tania tak mau kalah. Dengan
berkacak pinggang ia menghardik balik, “Ooh, pantas saja. Dengan pemikiranmu
yang egosentris dan gaya
hidupmu yang seperti supermodel, tentu saja kau menuntut selalu yang terbaik
dan kau butuh pria mapan yang kekayaannya takkan habis tujuh turunan.
Mana mungkin pria baik hati, pekerja
keras dan bertanggungjawab saja cukup untuk memuaskan tuntutanmu itu? Taruhlah
biaya hidup di Jakarta mahal, tapi kalau kau mau
bekerjasama dengan Ken, berjuang bersama, segala masalah pasti ada jalan
keluarnya, ‘kan?
Tapi tidak, kau hanya mau terima jadi,
tak mau ambil pusing urusan uang. Jadi ibu rumah tangga yang baik saja dan
mengurus anak itu bagus, tapi tidak cocok buat Ken yang butuh penolong untuk
menyiasati kehidupan di Jakarta
ini.”
Dengan kasar Priska memaku telunjuknya di
bahu Tania. “Jadi, kaupikir kau yang paling cocok untuk Ken, ya? Kau belum
kenal Ken, dia itu pria tak bertanggungjawab, lebih egois dari yang kaukira.
Dia tak mungkin akan menikahi marmut bulat sepertimu. Dia hanya main hati
denganmu, itu saja.”
Jawabannya datang seketika, kali ini dari
sebuah suara maskulin. “Wah, wah, ternyata kamu salah paham, Pris.”
Priska dan Tania tersentak dan menoleh.
Wajah Priska memucat seperti sedang melihat hantu. “Ken? Ka-kamu tak kesurupan
la… Ba-bagaimana bisa?”
Ken memegangi dahinya. “Semula aku juga
tak mengerti. Kepalaku tiba-tiba sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi. Lalu
mendadak aku tersadar, tampangku sangat berantakan seperti pasien rumah sakit
jiwa.
Mendengar suara pertengkaran, aku bangkit
dan mendekat. Lalu, aku sudah mendengar semuanya yang ingin aku tahu.
Priska, aku tak mempermainkan Tania
seperti juga aku tak menipu kamu. Malah tindakan Tania membelaku tadi membuatku
yakin bahwa Tanialah penolongku yang paling sejiwa. Tolonglah, Pris. Lupakan
saja aku. Kita sudah pisah baik-baik, ‘kan?
Aku yakin kau pasti akan menemukan pria ideal yang sejiwa denganmu, dan biarlah
kita semua tetap jadi teman baik sampai tua.”
Merasa digurui, wajah Priska memerah
seperti kepiting rebus. “Sial! Aku tak terima! Aku hanya puas melihatmu hancur,
selamanya takkan bisa bangkit lagi!”
Dengan gerakan cepat, jari-jari Priska
menari dan bibirnya berkomat-kamit tak jelas. Tak terjadi apa-apa. Ken dan
Tania berdiri diam di tempat, saling berpandangan dengan wajah bingung.
Tinggal Priska yang mencak-mencak
sendiri. “Ayo, segala kekuatan kegelapan! Bantulah aku balas dendam padanya!
Huh! Sial! Kenapa tak satupun mantra bisa kukerahkan di saat-saat penting
begini?”
Para penonton “atraksi” ini, yang semula menjauh, kini
menertawai Priska. Menyadari itu, Priska langsung lari ke luar balairung
resepsi dan menangis sejadi-jadinya di pojok.
Ken dan Tania bergegas menghampirinya.
Tania membelai pundak Priska untuk menghiburnya.
Sementara Ken bertugas bicara, “Priska,
aku baru ingat satu hal. Kau dulu pernah cerita padaku bahwa kekuatan istimewa
milikmu itu beraliran putih. Jadi kalau kau menggunakan ilmu hitam yang kuat,
kekuatan putihmu akan melawan hingga terjadi aksi saling melenyapkan.
Akibatnya, kau takkan bisa menggunakan
kekuatan paranormalmu itu untuk sementara... atau selamanya. Kurasa itulah yang
terjadi.”
“Mustahil...” Air mata Priska mulai
merambati pipinya yang memerah oleh luapan emosi. “Aku baru sekali menggunakan
mantra kesurupan ini. Mustahil begini jadinya... Aku... aku khilaf.” Ia
tertunduk.
Priska melanjutkan, “Ini karena... aku
terlalu terobsesi padamu, Ken, pada senyummu, pada matamu... Hatiku
menginginkanmu, tapi benakku, prinsipku, gaya
hidupku tak bisa menerimamu. Aku tak mau menjalani taraf hidup yang lebih rendah
sejak aku jadi model laris, dan kau pasti takkan sanggup mengikuti mauku.
Maaf... maafkan aku, Ken. Mungkin aku sebaiknya melupakanmu, tapi nyatanya...
aku terlalu rapuh...”
Mendengarnya, Tania memeluk Priska yang
tampak agak terguncang ini. “Sudahlah, Pris. Yang lalu biarlah berlalu. Kami
takkan mempersoalkannya lagi. Aku yakin suatu hari nanti kau akan bertemu pria
yang lebih tampan, lebih baik dan lebih sepadan denganmu daripada Ken. Jangan
putus asa, ada kami berdua yang selalu mendukungmu. Jadi sahabatmu dalam suka
dan duka.”
Priska menatap Tania. Ia terperangah, tersadar
oleh kemurnian hati wanita ini. Bibirnya bergetar. “Terima kasih, Tania,
sahabatku.”
Kedua wanita itu tenggelam dalam keharuan
suasana setelah badai emosi mereda.
Di sisi lain, Ken tersenyum menatap
mereka, seluruh rasa sakit dan emosinya reda sudah. Namun, satu rasa yang
mengganjal di hati mendorong Ken untuk bertanya…
“Pris, ada satu hal yang masih membuatku
penasaran. Bagaimana dengan ‘kutukan lima
buket’ itu? Bukankah itu ilmu hitam? Kau pasti tahu kekuatanmu akan hilang
kalau kau menggunakannya, ‘kan?”
Wajah Ken penuh selidik.
Priska terdiam. Ia menundukkan kepala, tak
berani menatap mata Ken. Ekspresi wajahnya seakan memendam rasa bersalah yang
mendalam.
==oOo==
Satu tahun kemudian...
“Tiga, dua, satu, lempar!”
Mengikuti arahan pembawa acara, kedua
mempelai, Ken dan Tania melemparkan buket yang dipegangnya. Buket itu melayang
sedikit lalu kembali mendarat di tangan Ken. Itu karangan bunga daisy, mirip dengan buket tangkapan
keempat Ken. Kali ini, ialah yang sepakat berbagi rasa dengan belahan jiwanya,
memilih bunga putih ini sebagai pengingatnya.
“Hehe, rasa penasaranku terpuaskan sudah.
Karena pengantin yang melemparkannya, sah toh ini jadi buket kelima?” Ken
nyengir-nyengir sendiri.
“Ah, kau ini bisa saja, sayang. Priska ‘kan sudah bilang kalau kutukan lima buket itu hanya gertak sambal saja,
bukan sungguhan.”
Ken tertawa. “Yang penting puas, enak
sekali rasanya menang dari tantangan besar ini.”
“Tapi jangan berlarut-larut, Ken. Tuh
lihat, Pak MC dan peserta ‘tangkap buket’ sudah tak sabaran.”
“Oh, iya. Silakan lanjut, Mas, kami sudah
siap.”
Sebagai profesional, si pembawa acara
selalu pasang senyum sambil berseru, “Ya, lemparan pertama tadi baru pemanasan.
Setelah berembuk panjang kedua mempelai siap melempar lagi. Semua siap! Tiga,
dua, satu, LEMPAR!”
Buket melayang tinggi, tinggi. Tangan-tangan
menggapainya. Akhirnya, karangan bunga daisy
itu memilih berlabuh di pelukan seorang wanita yang tinggi semampai, elok bagai
supermodel.
“Ken, lihat!”
“Ya! Priska yang dapat buketnya,” seru
Ken, wajahnya tak tampak terkejut seolah sudah menduganya sejak awal. “Dia
sungguh beruntung. Hmm, aku jadi penasaran, jangan-jangan kekuatan
paranormalnya sudah pulih.”
“Wah, Pris, bisa jadi kamu yang bakal
dapat giliran menikah setelah kami,” ujar Tania sambil menyerahkan hadiah pada
sahabatnya itu. “Anggap saja hadiah ini sebagai tanda doa kami, semoga kau
segera menikah dan hidup berbahagia sampai tua.”
“Haha, makasih,” ujar Priska sambil tertawa.
“Yah, kebetulan aku juga tinggal tunggu pacarku melamarku. Bisa jadi aku akan
menikah dalam waktu dekat. Selamat ya, Ken, si penangkap buket jagoan. Kudoakan
semoga kalian berdua rukun dan berbahagia.”
Ken mengangguk sambil menjabat tangan
Priska. Matanya beralih ke wajah Tania. Sungguh, senyum sang belahan jiwa jauh
lebih indah, jauh lebih berharga daripada semua rangkaian bunga pengantin di
dunia.
------------------------------Update 14 Januari 2013:
Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba "Say With Flower" dari Grup Facebook House of Romance - http://www.facebook.com/groups/houseofromance
Sponsor:
GGG (Gunawan Green Glory)
Jenis bunga yang digunakan:
Kode
: F043
Shasta
Daisy
50
biji
Rp.21.500,-
Link
ke foto:
Posting di Note Facebook FireHeart Saga:
http://www.facebook.com/notes/fireheart-saga/say-with-flower-karangan-bunga-pengantin-shasta-daisy-ggg/10152424304610131
Catatan riset:
Sejarah dan Makna Bunga Tangan Pernikahan
http://www.preweddingkuok.com/tips/sejarah-dan-makna-bunga-tangan-pernikahan-315.htm
Catatan riset:
Sejarah dan Makna Bunga Tangan Pernikahan
http://www.preweddingkuok.com/tips/sejarah-dan-makna-bunga-tangan-pernikahan-315.htm
No comments:
Post a Comment