Thursday, August 23, 2012

Karangan Bunga Pengantin - Andry Chang

The Wedding Bouquet - http://www.imageof.net/wallpaper/Stunning-Beauty-Bouquet/



Di tiap pesta pernikahan, selalu ada makhluk yang bersuara paling keras. Ia selalu berusaha agar para hadirin memperhatikan jalannya upacara pernikahan. Makhluk tersebut tak lain adalah MC alias pembawa acara.
Seperti yang terjadi pada pesta pernikahan dalam kisah ini, ia berseru, “Satu, dua, tiga!”
Tiba-tiba sebuah benda terlempar dari arah mimbar, melambung tinggi, tinggi... lalu terjun bebas ke arah sekumpulan tangan yang menggapai-gapai hendak menangkapnya.
Bagai atlit rugby kawakan, seorang tamu pria menangkap benda itu di pelukannya. Melihat benda yang ternyata sebuah karangan bunga itu, mata pria itu berbinar dan senyum mempertampan parasnya.
Bunga-bunga di karangan itu tampak serba putih, dengan pusatnya berbentuk bulatan kuning. Ini bunga sungguhan, terbukti dari wangi menyegarkan yang ditebarnya.
“Buket keempat. Tinggal satu lagi,” gumamnya tanpa suara.
“Ini dia, si pria beruntung. Silakan naik ke panggung,” ujar pemandu acara sementara si penangkap buket naik ke panggung dan bersalaman dengan kedua mempelai.
“Siapa nama anda?” tanya si pria pembawa acara yang jasnya berkilap, kontras dengan wajah dan perawakannya yang agak gemuk sambil mengulum senyum dibuat-buat.
“Kendra.”
“Datang bersama siapa ke pesta ini?”
“Saya datang sendirian.”
“Sudah punya pacar, Kendra?”
“Nggg... Itu rahasia.”
“Wow, pria misterius rupanya. Yang pasti, anda beruntung dua kali lipat malam ini, karena selain dapat hadiah, jodoh anda sudah dekat. Percaya atau tidak, kemungkinan besar andalah yang akan menikah segera setelah kedua mempelai ini.”
Pasang senyum sesopan-sopannya, Ken hanya mengucapkan terima kasih sekali lagi, menerima hadiahnya dan turun dari panggung. Senyum di wajah tampannya sirna seketika, diganti dengan wajah serius nan muram.
“Hai!” Seorang wanita muncul menyapa Ken. Wajahnya bisa dibilang cukup manis, postur tubuhnya yang pendek dan agak “montok” nampak sedikit lebih langsing berkat tatanan rambut hitamnya yang terurai panjang dan lurus.
Setelah mendapat perhatian Ken, wanita itu melanjutkan sapaannya, “Kamu Kendra, ya? Masih ingat aku? Aku Tania, kita pernah satu kelas jurusan di kampus dulu.”
Wajah Ken berubah cerah. “Tania? Oh, ya, ya! Tentu aku ingat! Wah, tampangmu banyak... berubah, ya. Jadi pangling aku.”
“Haha, bisa saja. Kau juga banyak berubah, sampai aku, sahabat lamamu saja tak mengenalimu sampai MC menyebut namamu tadi.”
Pembicaraan Ken dan Tania berlanjut ke basa-basi soal pekerjaan, status yang sama-sama jomblo dan sedikit nostalgia masa kuliah.
Sampai akhirnya Tania berujar, “Wah, hadiahnya untukku? Terima kasih, ya! Dan buketnya… hmmm, bunganya serba putih dan wangi.”
“Memangnya itu bunga apa, Tan?” Ken pasang wajah melongo.
“Masa’ kamu nggak tahu? Ini bunga daisy, dirangkai dalam buket pengantin ini sebagai tanda dua jiwa yang mengikat janji untuk selalu berbagi rasa, bersatu hati selama hayat.”
Kendra terperangah. Baru kini ia menyadari bahwa setiap karangan bunga pengantin memiliki arti tersendiri, dan teringat arti pernikahan yang sesungguhnya. Tak sengaja matanya menatap wajah Tania, ada rasa hangat namun aneh merasuki relung hatinya.
Tiba-tiba, Tania berseru, “Hei, Ken! Haloo? Ada Ken di sana?”
Ken tersentak dari lamunannya. “Eh, ya! Maaf. Aku hanya memikirkan kata-katamu tentang arti bunga itu tadi.”
“Wah, serius sekali kau, Ken. Santailah, nikmati saja pestanya.”
“Haha, tentu saja. Oh ya, makasih kau sudah memfotoku dengan buket ini. Lihat, sudah ku-unggah ke Facebook.” Kendra memperlihatkan layar Blackberry-nya pada Tania. Sesaat kemudian, wajah wanita itu tampak keheranan.
“Lho, keterangan foto ini... buket keempat. Apa maksudnya?”
Sesaat Ken tampak ragu, lalu ia menghela napas dan menjawab, “Yah, ceritanya panjang, Tan. Asal tahu saja, ini buket keempat yang berhasil kutangkap selama dua tahun ini, setelah puluhan kali kurang beruntung.”
“Empat kali dalam dua tahun? Apa kau ini maniak penangkap buket atau semacamnya?” Nada bicara Tania seakan bercanda. “Atau jangan-jangan, kau percaya pada takhayul ala Barat itu?”
Ken terdiam sejenak, terkesan tersinggung oleh canda Tania itu. Sebelum wanita itu berbuat apa-apa, Ken angkat bicara, “Masalahnya tak sesederhana itu, Tan. Seperti kataku tadi, ceritanya panjang dan itu sepenuhnya masalah pribadiku sendiri.
Tuh, dengar, kita dipanggil untuk berfoto bersama pengantin dan teman-teman kampus lainnya. Ayo kita ke sana.”
Tania hanya bisa menghela napas, melangkah mengikuti pria misterius itu dengan rasa penasaran tergurat di kerutan dahi dan lekukan mata jelinya.
==oOo==

Beberapa minggu kemudian, di resepsi lain...
Buket melayang tinggi, tinggi, jauh ke belakang...
Dan mendarat di genggaman seorang tamu wanita.
Ken mengelus-elus rambut hitam pendeknya sambil berdecak, “Ah, gagal. Aku sudah berdiri di deret paling depan, tapi buketnya terlalu tinggi untuk dijangkau.”
“Maaf, anda belum beruntung, Pak Kendra,” canda Tania yang datang bersama Ken di resepsi ini. Dengan status sebagai pacar, tentunya. “Sekarang, sesuai janjimu, ceritakan padaku apa yang menyebabkan kau serius sekali soal tangkap-menangkap buket ini, bagaikan soal hidup dan mati.”
“Oke, Tan, oke.” Ken berdehem. “Ceritanya, aku dulu pernah pacaran dengan Priska, teman kuliah kita juga.”
Tania terperangah. “Priska? Priska yang paranormal dan tampangnya seperti supermodel itu?”
“Yap, persis. Nah, ceritanya dua tahun yang lalu kami putus karena Priska menganggap aku kurang mapan untuk ukurannya. Parahnya lagi, dia menuduhku telah menipunya selama ini, menyia-nyiakan lima tahun umurnya, jadi Priska membalaskan dendamnya dengan mengenakan kutukan padaku.”
“Haa? Kutukan?” Tania ternganga, tak percaya pendengarannya.
“Kutukan, guna-guna, tenung, pelet, jampi dan teman-teman sekampusnya. Nah, Priska mengutuk aku takkan bisa menikah seumur hidup sebelum aku menangkap lima karangan bunga yang dilempar pengantin saat resepsi pernikahan.”
“Gila, kutukan yang aneh. Bukankah tradisi lempar bunga itu berasal dari anggapan bahwa orang yang menangkapnya akan menikah berikutnya setelah pengantin yang melemparnya, yang pertama di antara hadirin yang belum menikah?”
“Bisa saja itu jadi kenyataan, namun menurutku sebabnya hanya kebetulan saja, tak ada yang mistis tentang itu. Masalahnya yang menyebutkan kutukan itu adalah tukang tenung paranormal, jadi percaya atau tidak aku harus berusaha menangkap lima buket, dan aku tahu perlu banyak keberuntungan untuk menangkap satu buket saja.”
“Dan kau sudah menangkap empat, bukan? Itu jelas sangat, sangat beruntung.”
“Ya, tapi tampaknya keberuntunganku itu sudah menipis. Tinggal satu buket lagi, sudah tiga kali coba dan tak satupun yang mampir ke jangkauanku seolah sengaja menghindariku. Sedang mogok anti-Ken, kah?”
Tania tertawa kecil, lalu menggamit lengan Ken dengan mesra. “Entah berapa kali lagi kau akan mencoba menangkap buket kelima, yang penting aku akan terus menemanimu dan mendukungmu. Tanpa embel-embel ‘syarat dan ketentuan berlaku’, pastinya.”
Sepasang mata Ken berkaca-kaca, dan ia balas membelai rambut hitam Tania yang bersanggul indah itu, memancarkan isi hatinya tanpa kata-kata.
==oOo==
Shasta Daisy - Sumber (lihat di bawah): Gunawan Green Glory
Tiga bulan kemudian, sekali lagi Ken berada di antara sekumpulan tamu tepat di depan panggung balairung resepsi. Ekspresi wajahnya kali ini tampak santai, tak harap-harap cemas seperti sebelumnya.
Sesekali ia melirik, melempar senyum pada Tania yang berdiri tak jauh di sana, di luar kerumunan. Tania mengacungkan telunjuknya dan Ken mengangguk. Mengerti.
Tinggal satu lagi. Satu buket terakhir dan kutukanku akan berakhir, batinnya.
Terdengar suara pembawa acara dari loudspeaker, “Tiga, dua, satu, LEMPAR!”
Buket melambung tinggi, hampir menyentuh langit-langit, lalu turun, turun. Wajah Ken tampak cerah. Buket mengarah ke tangannya yang terulur tinggi. Ia menekuk lututnya sedikit, ambil ancang-ancang untuk melompat seperti Kobe Bryant yang akan melesakkan slam dunk di pertandingan bola basket NBA...
Tiba-tiba Ken berteriak, merengkuh dadanya seperti terkena serangan jantung mendadak. Ia roboh, meringkuk di lantai marmer.
Seluruh hadirin dan kerumunan di tengah balairung pesta itu terlonjak mundur dan bahkan ada yang menjerit terkejut.
Bagaimana tidak, pria yang meringkuk itu lalu berguling-gulingan di lantai. Tubuhnya berguncang, kejang-kejang seperti tersengat listrik sepuluh ribu volt.
Tania langsung menghambur ke tengah, berlutut di samping Ken dan berteriak, “Tolongg! Toloong! Ken! Kenapa begini? Tolong!!”
Dengan sigap empat petugas pesta berseragam rompi ungu mencekal tangan dan kaki Ken dan menyeretnya ke sudut balairung. Masih kejang. Ini jelas gejala kesurupan.
“Tolong, Mas, adakah orang di sini yang bisa menolongnya?” Tania berseru panik.
“Tenang, Mbak. Salah satu petugas kami sedang menelepon rumah sakit terdekat,” kata pria petugas pesta. “Tapi – maaf kalau saya lancang, Mbak – Mas ini lebih butuh paranormal daripada dokter.”
Paranormal? Tania tersentak. Ia bangkit lalu melihat ke sekeliling balairung.
Beberapa saat kemudian matanya terbelalak dan kaki-kaki Tania berjalan ke arah seorang wanita yang berpenampilan bak supermodel dengan rambut panjang berombak bersepuh highlight hijau.
Mata indah wanita itu menatap tajam dan mulutnya berkomat-kamit, tak kedengaran di balik lautan lagu pesta dan riuh-rendah suara para hadirin.
“PRISKA!” Tania menghardik keras.
Si gadis paranormal berhenti berkomat-kamit. Ia lalu menyunggingkan senyum mencemooh di bibir merahnya yang bak delima merekah. “Wah-wah, rupanya ada sobat lama, Tania si Marmut Bulat. Ada apa?”
“Sudahlah, jangan pura-pura, Pris. Aku sudah tahu seluruh duduk perkaranya. Pasti kau biang keladinya, tak lain dan tak bukan. Cabut guna-gunamu dari Kendra sekarang juga, atau aku akan lapor polisi.”
“Hah?” Wajah Priska terkejut dibuat-buat. “Lantas apa yang akan mereka lakukan? Menangkapku? Mana buktinya? Ken si penipu itu pasti hanya kesurupan sendiri.”
“Keterlaluan kau, Priska. Kau menggunakan kemampuan pemberian Tuhan padamu untuk balas dendam, memuaskan egomu sendiri. Kau malah belajar ilmu hitam yang bisa mencelakakan orang lain. Bukankah itu berarti kau menghina Tuhan? Apa kau tak takut kena murkaNya?”
“Ah! Masa bodoh dengan semua itu. Yang penting dendamku harus terbalas supaya jiwaku puas. Tahu apa kau tentang derita jiwaku ini? Lima tahun tersia-sia demi penipu itu. Mana janjinya? Melindungiku? Membahagiakanku? Menghidupi dirinya sendiri saja sudah pas-pasan, apalagi menghidupi keluarga? Di Jakarta ini semuanya mahal, lho. Biaya hidup, pendidikan anak, rumah sakit... Memangnya dia sanggup?”
Tentu Tania tak mau kalah. Dengan berkacak pinggang ia menghardik balik, “Ooh, pantas saja. Dengan pemikiranmu yang egosentris dan gaya hidupmu yang seperti supermodel, tentu saja kau menuntut selalu yang terbaik dan kau butuh pria mapan yang kekayaannya takkan habis tujuh turunan.
Mana mungkin pria baik hati, pekerja keras dan bertanggungjawab saja cukup untuk memuaskan tuntutanmu itu? Taruhlah biaya hidup di Jakarta mahal, tapi kalau kau mau bekerjasama dengan Ken, berjuang bersama, segala masalah pasti ada jalan keluarnya, ‘kan?
Tapi tidak, kau hanya mau terima jadi, tak mau ambil pusing urusan uang. Jadi ibu rumah tangga yang baik saja dan mengurus anak itu bagus, tapi tidak cocok buat Ken yang butuh penolong untuk menyiasati kehidupan di Jakarta ini.”
Dengan kasar Priska memaku telunjuknya di bahu Tania. “Jadi, kaupikir kau yang paling cocok untuk Ken, ya? Kau belum kenal Ken, dia itu pria tak bertanggungjawab, lebih egois dari yang kaukira. Dia tak mungkin akan menikahi marmut bulat sepertimu. Dia hanya main hati denganmu, itu saja.”
Jawabannya datang seketika, kali ini dari sebuah suara maskulin. “Wah, wah, ternyata kamu salah paham, Pris.”
Priska dan Tania tersentak dan menoleh. Wajah Priska memucat seperti sedang melihat hantu. “Ken? Ka-kamu tak kesurupan la… Ba-bagaimana bisa?”
Ken memegangi dahinya. “Semula aku juga tak mengerti. Kepalaku tiba-tiba sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi. Lalu mendadak aku tersadar, tampangku sangat berantakan seperti pasien rumah sakit jiwa.
Mendengar suara pertengkaran, aku bangkit dan mendekat. Lalu, aku sudah mendengar semuanya yang ingin aku tahu.
Priska, aku tak mempermainkan Tania seperti juga aku tak menipu kamu. Malah tindakan Tania membelaku tadi membuatku yakin bahwa Tanialah penolongku yang paling sejiwa. Tolonglah, Pris. Lupakan saja aku. Kita sudah pisah baik-baik, ‘kan? Aku yakin kau pasti akan menemukan pria ideal yang sejiwa denganmu, dan biarlah kita semua tetap jadi teman baik sampai tua.”
Merasa digurui, wajah Priska memerah seperti kepiting rebus. “Sial! Aku tak terima! Aku hanya puas melihatmu hancur, selamanya takkan bisa bangkit lagi!”
Dengan gerakan cepat, jari-jari Priska menari dan bibirnya berkomat-kamit tak jelas. Tak terjadi apa-apa. Ken dan Tania berdiri diam di tempat, saling berpandangan dengan wajah bingung.
Tinggal Priska yang mencak-mencak sendiri. “Ayo, segala kekuatan kegelapan! Bantulah aku balas dendam padanya! Huh! Sial! Kenapa tak satupun mantra bisa kukerahkan di saat-saat penting begini?”
Para penonton “atraksi” ini, yang semula menjauh, kini menertawai Priska. Menyadari itu, Priska langsung lari ke luar balairung resepsi dan menangis sejadi-jadinya di pojok.
Ken dan Tania bergegas menghampirinya. Tania membelai pundak Priska untuk menghiburnya.
Sementara Ken bertugas bicara, “Priska, aku baru ingat satu hal. Kau dulu pernah cerita padaku bahwa kekuatan istimewa milikmu itu beraliran putih. Jadi kalau kau menggunakan ilmu hitam yang kuat, kekuatan putihmu akan melawan hingga terjadi aksi saling melenyapkan.
Akibatnya, kau takkan bisa menggunakan kekuatan paranormalmu itu untuk sementara... atau selamanya. Kurasa itulah yang terjadi.”
“Mustahil...” Air mata Priska mulai merambati pipinya yang memerah oleh luapan emosi. “Aku baru sekali menggunakan mantra kesurupan ini. Mustahil begini jadinya... Aku... aku khilaf.” Ia tertunduk.
Priska melanjutkan, “Ini karena... aku terlalu terobsesi padamu, Ken, pada senyummu, pada matamu... Hatiku menginginkanmu, tapi benakku, prinsipku, gaya hidupku tak bisa menerimamu. Aku tak mau menjalani taraf hidup yang lebih rendah sejak aku jadi model laris, dan kau pasti takkan sanggup mengikuti mauku. Maaf... maafkan aku, Ken. Mungkin aku sebaiknya melupakanmu, tapi nyatanya... aku terlalu rapuh...”
Mendengarnya, Tania memeluk Priska yang tampak agak terguncang ini. “Sudahlah, Pris. Yang lalu biarlah berlalu. Kami takkan mempersoalkannya lagi. Aku yakin suatu hari nanti kau akan bertemu pria yang lebih tampan, lebih baik dan lebih sepadan denganmu daripada Ken. Jangan putus asa, ada kami berdua yang selalu mendukungmu. Jadi sahabatmu dalam suka dan duka.”    
Priska menatap Tania. Ia terperangah, tersadar oleh kemurnian hati wanita ini. Bibirnya bergetar. “Terima kasih, Tania, sahabatku.”
Kedua wanita itu tenggelam dalam keharuan suasana setelah badai emosi mereda.
Di sisi lain, Ken tersenyum menatap mereka, seluruh rasa sakit dan emosinya reda sudah. Namun, satu rasa yang mengganjal di hati mendorong Ken untuk bertanya…
“Pris, ada satu hal yang masih membuatku penasaran. Bagaimana dengan ‘kutukan lima buket’ itu? Bukankah itu ilmu hitam? Kau pasti tahu kekuatanmu akan hilang kalau kau menggunakannya, ‘kan?” Wajah Ken penuh selidik.
Priska terdiam. Ia menundukkan kepala, tak berani menatap mata Ken. Ekspresi wajahnya seakan memendam rasa bersalah yang mendalam.
==oOo==
Satu tahun kemudian...
“Tiga, dua, satu, lempar!”
Mengikuti arahan pembawa acara, kedua mempelai, Ken dan Tania melemparkan buket yang dipegangnya. Buket itu melayang sedikit lalu kembali mendarat di tangan Ken. Itu karangan bunga daisy, mirip dengan buket tangkapan keempat Ken. Kali ini, ialah yang sepakat berbagi rasa dengan belahan jiwanya, memilih bunga putih ini sebagai pengingatnya.
“Hehe, rasa penasaranku terpuaskan sudah. Karena pengantin yang melemparkannya, sah toh ini jadi buket kelima?” Ken nyengir-nyengir sendiri.
“Ah, kau ini bisa saja, sayang. Priska ‘kan sudah bilang kalau kutukan lima buket itu hanya gertak sambal saja, bukan sungguhan.”
Ken tertawa. “Yang penting puas, enak sekali rasanya menang dari tantangan besar ini.”
“Tapi jangan berlarut-larut, Ken. Tuh lihat, Pak MC dan peserta ‘tangkap buket’ sudah tak sabaran.”
“Oh, iya. Silakan lanjut, Mas, kami sudah siap.”
Sebagai profesional, si pembawa acara selalu pasang senyum sambil berseru, “Ya, lemparan pertama tadi baru pemanasan. Setelah berembuk panjang kedua mempelai siap melempar lagi. Semua siap! Tiga, dua, satu, LEMPAR!”
Buket melayang tinggi, tinggi. Tangan-tangan menggapainya. Akhirnya, karangan bunga daisy itu memilih berlabuh di pelukan seorang wanita yang tinggi semampai, elok bagai supermodel.
“Ken, lihat!”
“Ya! Priska yang dapat buketnya,” seru Ken, wajahnya tak tampak terkejut seolah sudah menduganya sejak awal. “Dia sungguh beruntung. Hmm, aku jadi penasaran, jangan-jangan kekuatan paranormalnya sudah pulih.”
“Wah, Pris, bisa jadi kamu yang bakal dapat giliran menikah setelah kami,” ujar Tania sambil menyerahkan hadiah pada sahabatnya itu. “Anggap saja hadiah ini sebagai tanda doa kami, semoga kau segera menikah dan hidup berbahagia sampai tua.”
“Haha, makasih,” ujar Priska sambil tertawa. “Yah, kebetulan aku juga tinggal tunggu pacarku melamarku. Bisa jadi aku akan menikah dalam waktu dekat. Selamat ya, Ken, si penangkap buket jagoan. Kudoakan semoga kalian berdua rukun dan berbahagia.”
Ken mengangguk sambil menjabat tangan Priska. Matanya beralih ke wajah Tania. Sungguh, senyum sang belahan jiwa jauh lebih indah, jauh lebih berharga daripada semua rangkaian bunga pengantin di dunia.
------------------------------
Update 14 Januari 2013:

Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba "Say With Flower" dari Grup Facebook House of Romance - http://www.facebook.com/groups/houseofromance

Sponsor:


GGG (Gunawan Green Glory)

Jenis bunga yang digunakan:
Kode : F043
Shasta Daisy
50 biji
Rp.21.500,-

Link ke foto:

Posting di Note Facebook FireHeart Saga: 

No comments:

Post a Comment

Popular Posts