Tuesday, August 16, 2016

[My Cup Of Story] Bajawa Gita - Andry Chang




BAJAWA GITA Andry Chang



Inilah pelarianku.

Setiap kali aku duduk di sini, menyesap cairan hitam yang pahit berpadu manis ini.

Setiap kali kuhirup aromanya dari asap yang mengepul dari cangkir putih ini.

Setiap kali pula bibit-bibit kata baru tercurah dalam benakku.

Lalu dengan lincah jari-jariku menari, menyemaikan bulir demi bulir bibit kata itu dalam kisah yang tengah kurangkai ini. Laptop-kulah tanahnya, dan keyboard paculnya.

Saat bibit-bibit itu berbunga kelak, aku akan ingat bahwa kelahirannya terbantu oleh kopi lezat di kedai langgananku ini.

Segala macam kopi pernah kucicipi, dari kopi Papua yang lembut hingga kopi keras yang berasal dari tanah Gayo di Aceh dan Tana Toraja. Sesekali, aku bahkan mencoba kopi-kopi impor termasuk kopi Santos dari Brasil dan Yirgacheffe-Sidamo dari Ethiopia. Namun, dari segi aroma dan kelezatan, tak ada kopi yang menandingi kopi termahal di dunia, kopi luwak.

Untuk hari ini, cukuplah kopi hitam dari daerah Lintong Nihuta, Tapanuli Utara untuk menemaniku menabur ladang kisah terbaruku ini. Cita rasanya yang seimbang nan halus, kental dan asam jadi bagai seekor lebah yang memilihkan aroma bunga kata yang serasi dari taman aksara, lalu mencurahkan bibitnya dalam benakku yang bagai tanah gembur.

Nyaris tiba-tiba, persemaianku ini terusik oleh sosok yang menghampiriku. Betapa tidak, mata, hidung, mulutnya yang terangkai indah dibalut pula dengan sosok tinggi nan tegap. Kulitnya masih tampak putih walau dirundung sinar mentari senja yang makin meredup. Suara pria itu terdengar lembut saat berkata, "Hai, Gita. Wah, hari ini kau pilih Mandailing ya?"

"Ini Lintong, Aaron," jawabku dengan nada sedikit ketus. "Aromanya seperti campuran kacang, coklat, buah dan mentega, tak seperti kopi Mandailing yang seperti bunga."

"Haha, benar juga kau." Aaron mengusap rambutnya yang mengembang indah dan terurai hingga hampir ke pangkal leher jenjangnya. "Sepertinya aku harus belajar banyak padamu dalam hal pengetahuan tentang kopi. Atau bisa saja penciumanku agak kurang peka akibat terpapar polusi sepanjang jalan tadi." Ia lantas duduk berseberangan denganku di meja kafe ini.

Astaga, ingin sekali mataku terus menyesapi senyumnya yang lebih nikmat dari kopiku ini.

Kembali suara lembut Aaron membelaiku, "Nah Git, bagaimana dengan rencana kita akhir pekan ini? Film yang kautunggu-tunggu sudah tayang di bioskop, tuh. Ayo kita nonton."

"Ngg, sepertinya harus kulewatkan dulu deh," ujarku. "Deadline dari penerbit sudah dekat, aku harus menyelesaikan novelku ini sebelum akhir bulan ini."

Senyum di wajah Aaron sirna seketika. Ia lantas menaikkan bahu. "Ah, gagal lagi deh. Akhir minggu lalu dan yang sebelum-sebelumnyapun kau juga sibuk. Yah, sebagai orang kantoran aku sih maklum, karena aku sendiripun juga baru sempat kencan Sabtu-Minggu saja. Tapi kau sibuk terus sepanjang minggu hingga tak ada hari libur sama sekali. Kalau begini terus, mana bisa ada kemajuan dalam hal hubungan sosial?"

Aku jelas protes, "Ya cobalah mengerti, Ron. Profesiku ini 'kan menuntutku agar selalu menyelesaikan karya-karyaku tepat waktu. Kalau aku terlambat terus, kontrakku dengan penerbit pasti bakal putus."

Aaron terdiam sejenak, lalu menghirup Iced Caramel House Blend Macchiato pesanannya.

Lalu, pria itu menatapku lekat-lekat, ada bersit kekecewaan di matanya. "Dunia penerbitan sudah hampir sama menyebalkan dengan bisnis hiburan. Mereka menyita hampir seluruh waktu orang-orang berbakat, bahkan juga waktu untuk diri sendiri dan bersosialisasi pula."

"Yah, mau bilang apa. Aku bahkan tak punya waktu untuk membaca buku lagi."

"Terus terang, aku rindu masa kita pertama kali bertemu, di kafe ini pula. Waktu itu, kau masih penulis pemula yang belum punya karya best seller seperti sekarang. Waktu itu, kau selalu amat antusias bicara denganku tentang kopi, tentang pemikiran dan pandanganmu terhadap kehidupan. Sekarang, kau sudah jadi bagai orang lain. Sejak karya ketigamu yang fenomenal dan inspiratif itu meledak di pasaran, kakimu seolah-olah sudah tak lagi menjejak bumi."

"Ah, tidak kok, Ron. Aku masih Gita yang dulu..."

"Gita yang dulu selalu menyambutku di sini dengan senyum manis, bukan dengan dahi berkerut seolah-olah aku ini hanya pengganggu. Sadarilah itu, lalu cobalah berubah."

Lagi-lagi dahiku berkerut, tanda kesabaranku makin menipis. Nada bicaraku juga agak meninggi. "Kumohon Aaron, jadilah sedikit lebih dewasa dan pahamilah diriku. Seperti inilah kenyataan hidup dan tuntutan profesiku. Bukankah kau sama saja, di hari-hari kerja kau amat sibuk hingga lembur sampai jauh malam? Coba ingat, sudah berapa kali kau mengeluh di hadapanku tentang gajimu yang tak naik-naik dan hanya satu kali mendapat kenaikan jabatan menjadi supervisor?"

"Ah, itu beda," sergah Aaron, nada bicaranya juga ikut ketus. "Setidaknya Sabtu-Mingguku tak terganggu..."

"Tapi bagaimana andai kau bekerja di perusahaan yang mengharuskanmu masuk kerja Sabtu-Minggu pula?"

"Pasti kutolak pekerjaan itu mentah-mentah."

"Wah, enak sekali," sergahku. "Tapi maaf, tak semua orang bisa seberuntung dan seenak dirimu, bisa memilih pekerjaan yang kauinginkan sesukamu. Aku juga tak bisa memilih mengikat kontrak dengan penerbit yang lebih 'santai'. Masalahnya, prinsip kerja kebanyakan penerbit terkemuka di negeri ini sama. Kalau kau ingin terus terkenal sebagai penulis, kau harus terus-menerus menelurkan karya-karya baru secara berkala. Sudahlah, aku tak mau membahas hal yang tak bisa kuubah. Aku hanya ingin tanya, apa kau masih mencintaiku, Aaron?"

Aaron menjawab dengan lugas, "Tentu saja aku masih mencintaimu, Gita."

"Aku juga masih cinta kamu, Aaron. Karena itulah kuminta dengan sangat, tolong bersabarlah. Setelah novelku rampung akhir bulan ini dan kuserahkan pada editorku, aku akan punya banyak waktu luang. Kalau perlu, kita bisa ke bioskop setiap hari."

"Akhir bulan ini, ya..."

Ekspresi wajah Aaron berubah, seolah sesuatu tengah merasuki dirinya. Ia lantas memaksakan senyum getir. "Baiklah, kupegang janjimu itu. Oh ya, aku jadi ingat, aku harus mengerjakan sesuatu di rumah. Aku pulang duluan, ya."

"Tunggulah sebentar lagi, Ron. Kita pulang sama-sama saja setelah kopiku habis." 

Aaron menggeleng. "Aku harus menyempurnakan materi presentasi untuk di kantor besok, mumpung masih segar dan cukup tidur nanti."

"Tuh 'kan, kau juga sibuk tapi sempat-sempatnya kemari."

"Aku hanya ingin melihat senyummu, Git. Tapi rupanya hari ini senyummu semahal sebungkus biji kopi luwak."

Tanpa menunggu reaksiku, Aaron menenggak kopi dinginnya hingga tandas. Ia lantas bangkit dari kursinya, mengecup keningku dan melangkah ke kasir.

"Tak usah, Ron. Aku saja yang bayar semua," seruku.

Namun Aaron tetap menyerahkan kartu kreditnya di tangan petugas kasir.

Setelah transaksi selesai, Aaron melambai ke arahku sambil berseru, "Sampai jumpa lagi, Gita." Lalu ia melangkah keluar dari kafe.

"Sampai jumpa lagi?" Apa maksudnya itu? Dadaku tersentak bagai tersengat alat pacu jantung. Firasatku berakat, ada suatu hal lain yang Aaron rahasiakan dariku.

Ah, mungkin itu hanya prasangkaku saja. Mungkin segumpal pikiran bagai awan mendung tengah merundung Aaron saat ini. Mungkin kata-kata itu terlontar begitu saja karena terburu-buru. Lagipula Aaron bukan penyair yang mahir merangkai kata-kata indah.

Nanti saja kupikirkan itu. Sekarang, ada tenggat waktu yang harus kukejar.

Sekali lagi kuhirup kopiku. Namun kali ini tak satupun kata terbit dalam benakku.

Apa ini karena kopi Lintongku sudah dingin, sehingga khasiatnya hilang?

Tidak juga. Kebuntuan aksara ini belum pernah terjadi padaku sebelumnya.

Kuhirup sekali lagi.

Saat berikutnya, kupegangi kepalaku dengan dua tangan.

Sampai jumpa lagi, Gita.

Aaron, mengapa hanya kata-katamu saja yang terngiang di benakku kini?

Sungguh menyebalkan. Kalau tahu begini jadinya, seharusnya aku pesan kopi paling keras macam Aceh Gayo atau Toraja Kalosi saja tadi.



==oOo==



Yang lebih menyesakkan lagi, Aaron tak pernah menemuiku di kafe langgananku lagi. Aku telah mencoba menghubunginya dengan pelbagai cara, bahkan sampai mengirim surel padanya, namun seiring berlalunya hari demi hari, sama sekali tak ada jawaban darinya. Mungkin Aaron sengaja menjauh dulu sejenak, memberiku kesempatan berkonsentrasi pada novel garapanku ini.

Saat akhir bulan tiba, akhirnya aku berhasil mengetikkan kata terakhir di halaman terakhir naskahku. Tak lama setelah aku mengirimkan soft copy-nya ke penerbit, editorku berkata, "Wow, kisah ini bakal mampu menggugah perasaan banyak pembaca, calon best seller berikutnya. Selamat ya, Gita, sekali lagi kau berhasil menciptakan mahakarya."

"Terima kasih," jawabku. "Nah, sekarang aku butuh istirahat sejenak, berlibur dulu ke..."

Si editor menyela, "Maaf, Gita. Belum saatnya kau berlibur. Sesuai kontrak, kau harus membuat novel lagi untuk jadwal terbit sekitar Natal dan Tahun Baru."

"T-tapi aku belum dapat ide dan ilham lagi..."

"Kalau belum, carilah segera. Kalau kau sampai terlambat memenuhi deadline, kontrakmu berakhir dan sebaiknya kau mencari profesi baru selain novelis profesional."

Mendengar itu, keringat sedingin es meluncur dari kening hingga ke daguku.

Dengan langkah-langkah gontai, aku keluar dari taksi yang membawaku dari kantor penerbit ke kafe langgananku, tempat pelarianku ini. Sungguh, saat ini aku benar-benar butuh mencurahkan segala keresahan dalam hatiku pada seseorang. Tepatnya, orang yang mau meluangkan waktunya yang berharga untuk berusaha memahamiku. Aku butuh Aaron.

Namun, yang menyambutku di dalam kafe itu bukan Aaron, melainkan seorang pria lain, barista kafe itu. "Hai, Gita, bisa bicara sebentar?" Ya, barista yang satu itu cukup mengenalku sebagai salah seorang pelanggan terbaik di kafe ini, dan aku juga cukup akrab dengannya.

"Tentu bisa, Mas Guntur. Ada apa ya?" Aku bertanya balik.

"Tadi Miriam, adik Aaron datang saat kafe baru buka. Ia meminta saya membuatkan kopi untukmu, sekalian memberimu surat ini." Guntur mengulurkan sepucuk surat dalam amplop putih.

Aku mengambil surat itu seraya bertanya, "Kopi apa?"

"Lewat adiknya, Aaron berpesan agar kamu membaca surat ini baik-baik dulu, baru menebak jenis dan daerah asal kopi itu, itu saja. Ia memohon pada saya untuk menyampaikan kopi dan surat padamu saja. Jadi yah, demi salah satu pelanggan terbaik, saya menghormati kehendaknya dan membantunya dengan senang hati."

"Baiklah, mungkin Aaron ingin memberiku kejutan yang romantis," ujarku sambil mengedipkan sebelah mata, lalu duduk di tempat dudukku yang biasa dekat jendela. "Silakan buatkan kopinya, Mas Guntur."

Setelah si barista kembali ke meja raciknya, barulah kubuka amplop itu dan membaca surat dengan tulisan "cakar ayam" ala Aaron di dalamnya.

Buat Gita terlegit dan termanis,

Maaf kalau aku baru menghubungimu sekarang, lewat surat pula.

Aku tahu kau sangat sibuk akhir-akhir ini, Git. Bahkan kurasa, walau novelmu itu sudah rampung, kau pasti akan sibuk membuat novel baru lagi.

Tanpa sadar aku tertunduk. Ya, memang itulah yang akan kulakukan mulai besok. Membuat novel baru lagi untuk memenuhi tuntutan kontrak.

Kau sudah hebat sekarang. Dari sekian banyak penulis di Indonesia, hanya segelintir yang bisa menjadikan tulis-menulis cerita, novel dan sebagainya sebagai profesi tetap. Dan kau adalah satu dari segelintir itu.

Ah, aku belum hebat kok. Aku belum jadi kaya-raya seperti J. K. Rowling.

Melihat keberhasilanmu ini, aku jadi sadar bahwa selama ini aku hanya berjalan di tempat saja. Selama ini aku hanya melakukan pekerjaan yang itu-itu saja tanpa perkembangan yang berarti. Karena itulah sekarang aku memberanikan diri melakukan perubahan besar. Kini aku sedang melakukan pertaruhan agar aku bisa setidaknya menyejajarkan diri denganmu sebagai pribadi yang sukses dan mapan.

Namun, di samping itu aku juga harus ingat dan harus mengingatkanmu agar tak lupa daratan bilamana berhasil meraih kesuksesan. Agar pandai-pandai membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi masing-masing. Siapa tahu, kita bisa bersama membina keluarga kelak.

Ya, saat ini aku bukan berada di Jakarta. Jadi, bila kau masih membutuhkanku, bila aku masih mendiami tempat istimewa dalam hatimu, minumlah kopi yang kupesankan untukmu itu dan tebaklah daerah asalnya dari rasa dan aromanya. Kuberi petunjuk, aku sedang berada di dataran tinggi, di kawasan pertemuan dua lereng gunung, di tempat kopi yang kauminum itu berasal. Datanglah dan temui aku, akan kutawarkan masa depan untukmu.

Atau kau lebih suka berkutat dalam duniamu sendiri, tanpa diriku di dalamnya?

Keputusan ada di tanganmu, Gita. Pilihlah.

Salam sayang selalu, Aaron.

Aku terkesiap, tak kusangka Aaron bisa sepuitis ini. Namun aku lebih terperangah dengan pilihan yang ia sodorkan padaku. Teganya kau, Aaron. Kau sama saja dengan penerbit novelku, memaksaku memilih satu dan melepaskan yang lain.

"Ini kopinya, silakan dinikmati." Saat itu pula, secangkir kopi hitam yang disajikan Guntur telah mengepulkan asap harum di atas mejaku. Aroma kuat khas kopi yang baru diseduh bercampur samar-samar wangi bunga dan karamel merasuki penciumanku.

Kutatap sajian itu sejenak. Apapun keputusanku, tak ada salahnya pemberian Aaron ini kucicipi. Mungkin kafein bisa membantu menjernihkan pikiranku yang agak keruh saat ini.

Maka, kusesap kopi hitam itu.

Nikmat sekali. Cita rasa keasaman dan kekentalannya sedang dan seimbang, khas kopi Indonesia. Selain rasa asli kopi, ada sebersit campuran rasa kacang, jeruk dan coklat di sana.

Tanpa sadar, benakku mencoba mengingat-ingat daerah asal kopi ini. Mungkin aku pernah mencicipi kopi jenis ini di kafe ini atau kafe-kafe lainnya. Mungkin baru-baru ini, atau mungkin pula sudah beberapa bulan atau entah berapa tahun silam. Ini bukan kopi paling keras, namun rasanya paling beragam dan paling lezat di antara semua kopi yang pernah kucicipi, setidaknya bagi diriku pribadi.

Tiba-tiba aku terkesiap, menyadari sesuatu. Jangan-jangan...

Aaron ada di salah satu daerah itu. Tapi, di mana persisnya?

Mencari tahu tentang tempat Aaron berada mungkin cukup mudah.

Masalahnya, maukah aku menemui Aaron di sana, dengan segala resikonya?



==oOo==




Dari arah timur, matahari seakan sedang mendaki salah satu gunung. Tak terlalu lama lagi, ia akan melampaui puncak gunung itu dan berdiam di puncak langit, di puncak hari.

Di sebelah gunung bernama Inerie itu, tampak bayangan puncak gunung Abulobo di balik awan putih nan tebal. Seperti petunjuk Aaron, kini aku tengah berjalan di tanah Ngadha, sebuah dataran tinggi yang diapit kedua gunung Inerie dan Abulobo di daerah Bajawa, pulau Flores.

Seperti dugaanku, tanaman kopi terhampar di dataran itu sejauh mata memandang. Jelas sudah, perkebunan inilah tempat asal kopi Flores Bajawa yang terkenal amat lezat itu.

Yang lalu menarik perhatianku adalah orang-orang yang sedang memanen, memetik buah kopi yang sengaja mereka pilih sebulir demi sebulir dari tiap tanaman itu. Anehnya, sambil bekerja mereka malah bernyanyi riang, melantunkan lagu daerah Bajawa yang tak kumengerti bahasanya.

Entah karena perasaanku yang telah terasah kuat terhadap Aaron, tak terlalu lama kemudian aku melihat sosoknya yang tinggi dan tegap di antara orang-orang yang mengenakan topi petani itu. Aaron tampak sedang ikut memetik buah kopi, sambil sesekali mencium aromanya.

Tentunya aroma saat biji kopi masih dalam buahnya berbeda dengan biji kopi mentah, apalagi yang sudah dipanggang hingga coklat kehitaman. Namun kurasa memang sudah tugas petani untuk membedakan mutu kopi yang mereka petik, lalu memilah-milah dan memasukkan kopi-kopi itu dalam keranjang-keranjang yang mereka sandang.

Sengaja aku menghampiri si "petani tampan" itu hingga cukup dekat, lalu hanya menunggu dan mengamatinya terus bekerja tanpa memanggilnya.

Hingga akhirnya Aaron terkesiap dan menoleh ke arahku. Matanya terbelalak. "A-astaga, Gita! Bilang-bilang dulu kalau mau kemari dong! Aku 'kan bisa menjemputmu di bandara!"

 Kutanggapi dia dengan santai, "Siapa suruh kau tak menjawab semua pesan dan teleponku, lalu menghilang begitu saja kemari. Sekarang gantian aku yang memberimu kejutan. Ta-daa!" Kurentangkan kedua tanganku, kusilangkan kakiku seperti pesulap yang baru selesai beratraksi.

"Hahaha, maaf ya, Git. Yang penting aku senang akhirnya kau kemari. Ayo, kita bicara sambil jalan ke rumahku."

Aku ternganga bukan buatan. "Rumahmu? Kamu orang Bajawa?"

Aaron hanya tersenyum dan mengangguk. Ia lantas berjalan beriringan denganku menyusuri jalan setapak yang membelah kebun kopi itu.

"Ayahku adalah pemilik kebun ini. Sebagai anak tengah, aku diberi banyak kebebasan. Ketenaran kopi Flores memampukan ayah membiayai kuliahku di Cambridge. Namun setelah aku terjun ke dunia kerja di Jakarta, aku tak habis pikir mengapa karirku malah seperti jalan di tempat. Padahal aku sudah berusaha bekerja dengan rajin dan mengamalkan ilmu yang kudapat dari kuliah sebaik-baiknya. Karirmu sebagai penulis profesional, keberhasilanmu mencapai impianmu membuatku menyadari sesuatu yang amat penting, tapi selama ini kulewatkan begitu saja."

 "Apa itu?" tanyaku.

"Ternyata aku punya impianku sendiri, yaitu melestarikan kopi Flores lewat kafe. Namun aku sadar, ternyata pengetahuanku tentang kopi masih kalah jauh dibanding kamu, Git. Karena itulah aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantorku, lalu kembali ke kampung halamanku untuk belajar lebih jauh tentang kopi. Modal sudah ada, yaitu perkebunan kopi Flores. Kurasa sekaranglah saatnya untuk mendayagunakan modal itu sebaik-baiknya."

Aku mengerutkan dahi, nada bicaraku mulai sedikit ketus. "Lantas, untuk apa kau memintaku menemuimu di sini? Kau 'kan tinggal bilang saja di telepon atau pamitan dulu padaku di Jakarta. Toh aku bisa mengerti kok, tak perlu sampai harus jauh-jauh datang kemari."

"Ada dua alasan. Pertama, aku membutuhkan bantuanmu untuk mengelola Kafe Bajawa. Pengetahuanmu yang luas tentang kopi sangat penting agar usaha ini bisa berkembang."

"Oke, tak masalah," jawabku. Nada bicaraku memberi kesan aku sudah menduga alasan pertama ini sejak awal. "Asal kau tahu saja, Ron. Sebelum kemari aku sudah bilang pada editorku aku benar-benar butuh liburan, istirahat sebentar dari kepenatan akibat menulis terus-menerus sambil mencari inspirasi untuk novel baru. Kalau pihak penerbit tak memahami itu, aku tinggal mencari penerbit lain yang lebih memahami kebebasan berkarya para penulisnya."   

Aaron bersiul kagum. "Lalu, apa jawaban mereka?"

Aku menaikkan bahu. "Aku belum tahu itu dan aku tak punya waktu untuk menunggu mereka mengulur-ulur waktu. Jadi, di sinilah aku dengan segala resikonya."

"Nah, itu baru Gita yang hebat. Penulis profesional, berbakat tapi punya prinsip. Pasti akan banyak penerbit yang berebut menerbitkan karya-karyamu."

Wajahku bersemu merah. "Ah, kamu ini bisa saja, Ron. Oya, lantas apa alasan keduamu?"

"Aku sengaja membuatmu berpikir lebih jauh dan memilih cinta atau cita-cita. Ternyata kau memilih aku tanpa harus kehilangan cita-cita dan mimpimu. Coba pikir, dengan memiliki kafe sendiri, kau bisa mendapatkan kopi yang kauinginkan dengan gratis, ditambah waktu yang lebih seimbang untuk menulis, berbisnis, kehidupan pribadi dan... berkeluarga."

Jawabanku bukanlah kata-kata, melainkan senyumku yang termanis, hanya untuk Aaron seorang. Spontan, kukecup lembut pipi kekasihku itu. Ya, kusadari kini sebuah jalan baru telah terbuka untukku. Jalan menuju kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih luas, mencapai impian-impian baru yang mewarnai kehidupan dengan berjuta makna.

Berkat Aaron, aku tak perlu lagi mencari pelarian lewat kopi.

Kini, aku telah menemukan tempat untuk pulang.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Sumber foto: 
Peta Bajawa: Toko Kopi Aroma Nusantara, Mal Ambassador Lt. 4, Jakarta @aromanusantara
Panorama Bajawa: http://myforesthouse.blogspot.co.id/2013/12/kopi-flores-bajawa.html

4 comments:

  1. Lol, cowoknya Lightbringer. Ini manis. Ngangkat masalah waktu kerja yang ga sinkron sama waktu buat seneng-seneng bareng. Penyelesaiannya juga oke. Memang tantangan orang dewasa itu menyelesaikan hal yang begini-begini ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Wildan. Yah, sbnrnya memang urusannya bisa jadi rumit karena pihak-pihak tertentu dan tuntutan dalam dunia dewasa dan profesional. Apalagi kalau urusannya sinkron antara 2 kekasih, yang contohnya dalam hal ini penyair vs karyawan kantoran.

      Yang penting, bisakah kita berpikir "out of the box" untuk menyelesaikan masalah dan pilihan-pilihan seperti ini? Kita diberi 2 pilihan dan kita malah menciptakan pilihan ketiga.

      Delete
  2. Kereeeen. Main2 ke blogku juga ya. Hehehe.

    http://www.leemindo.com/2016/08/bagai-robusta-tanpa-gula.html

    ReplyDelete
  3. Wah, keren ini, kak! Jalan ceritanya hampir sama dgn ceritaku. Tapi aku gak jadi ikutan #mycupofstory, keburu deadline hihi. Semoga menjadi salah satu pemenang ya, kak!

    ReplyDelete

Popular Posts