Thursday, December 30, 2010

Xar & Vichattan II - Prahara

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Science Fiction & Fantasy
Author:Bonmedo Tambunan
REVIEW NOVEL
XAR & VICHATTAN – Seri Ahli Waris Cahaya
Buku II: Prahara
Karya: Bonmedo Tambunan

Oleh: Andry Chang (www.vadis.tk)

Perjalanan Sang Musafir terus berlanjut. Selain berkutat di dunia fantasi magis ciptaannya sendiri, kadangkala timbul keinginannya untuk meninjau dunia-dunia lain, ciptaan para “pengkhayal” lainnya.

Syahdan, saat ia mendengar adanya petualangan lanjutan baru di ranah Xar & Vichattan, untuk kedua kalinya berpindahlah Sang Musafir di negeri yang kali ini dilanda prahara besar.

Tempat yang pertama kali dikunjunginya di dunia ini tentunya adalah Kuil Cahaya yang telah dibangun kembali, dan orang-orang yang pertamakali ditemui Sang Musafir tentu saja keempat tokoh utama, empat remaja para Ahli Waris Cahaya: Dalrin, Antessa, Kara dan Gerome. Tentu saja keberadaan Sang Musafir ini tak diketahui siapapun di dunia itu – disadaripun tidak.


Gerome

Kali ini, para anggota “The Dream Team” ini bekerja sendiri-sendiri dengan alasan yang jelas. Selain terdesak waktu, tujuan utama mereka adalah menggagalkan usaha Khalash dan antek-antek Kuil Kegelapan menguasai seluruh dunia dan menghancurkan Kuil Cahaya lagi.

Jadilah Sang Musafir ikut serta dalam perjalanan “roller coaster”: Terbang bersama Antessa dan para peri, tenggelam dalam tumpukan buku dan terjebak di dunia lain bersama Kara yang berpengetahuan luas, merenung bersama Dalrin yang berjuang dalam konflik dan kedukaan dalam dirinya sendiri dan menjaga Desa Galad bersama Gerome, si pemberani yang bandel, “comic relief” dalam serial ini.

Walaupun sempat sukses dibuat penasaran dan agak lelah harus “berpindah-pindah tempat” di saat-saat kritis – seperti yang dialaminya pula dalam XV1, harus diakui, Sang Musafir sempat merasa tak ingin istirahat dan kembali dulu ke dunia asalnya sebelum tiba di ujung perjalanan keempat tokoh ini. Hasilnya: Prahara tak dapat ditolak, keunggulan tak dapat diraih. Kuil Xar bahkan sampai “hancur-hancuran”.

Logika Sang Musafirpun terusik. Ini bukan karena salah taktik, tapi semata-mata karena Kuil Kegelapan mendapat pendukung-pendukung baru yang kuat yaitu Diagoni dan Peri Kegelapan, Frigus Acerbus. para Ahli Waris yang belum matang benar dari segi kekuatan dan mentalitas, dan pendeknya pihak Kuil Kegelapan memang lebih kuat dari Xar maupun Vichattan.

Dalam perjalanan selanjutnya, Sang Musafir bertemu satu tokoh yang sangat menarik: Lisbet, seorang wanita tua yang “gila tapi tak gila, dan tak gila tapi gila”. Bagaimana bisa si tiarawati gila ini jadi kunci keselamatan Xar dan Vichattan? Inilah yang menurut Sang Musafir adalah salah satu daya tarik utama Buku II: Prahara ini.

Perjalanan Sang Musafir kali ini memang meriah, diwarnai dengan cinta, kecemburuan, pengkhianatan, balas dendam dan konflik-konflik pribadi antara Gerome dan Shiba, Petra dan Corbus, juga antara Kara, Antessa dan Dalrin, dan ditutup dengan finale yaitu pertempuran sihir yang tak terlalu mendetail tapi cukup epik di Kuil Cahaya antara para Ahli Waris Cahaya dan dua pelindungnya Amor si angsa raksasa dan Pietas si rusa raksasa melawan pasukan Kuil Kegelapan di bawah pimpinan Khalash.


Dalrin

Di akhir tahapan perjalanan yang seharusnya tuntas tapi rupanya menyisakan potensi ancaman baru yang lebih parah ini, setelah kembali ke dunia asalnya Sang Musafir terus mengingat beberapa kesan – yang tak tahan lagi akhirnya dituliskannya dalam bentuk review:

1. Banyak nama tokoh dari kalangan Xar dan Vichattan yang disebut, tapi mereka mendapat porsi peran yang lebih sedikit daripada di buku pertama Takhta Cahaya, seakan mereka hanyalah pemanis atau bahkan figuran. Tentunya ini bukan masalah karena sesedikit apapun peran mereka, itu peran yang penting agar cerita jadi terkesan lebih alami.

2. Kehadiran Khalash yang disebut-sebut sebagai Pangeran Kegelapan terkesan terlalu singkat di bab-bab akhir. Hanya sekali ia benar-benar turun tangan dan pada akhirnya ia “khalash” total. Ia terkesan terlalu gegabah untuk ukuran “The Ultimate Bad Guy”. Kalau saja ia mengindahkan peringatan Nolacerta dan Frigus, ceritanya pasti akan beda. Satu hikmah yang bisa diambil dari Khalash adalah keangkuhan dan sikap ultra-superioritas seseorang pada akhirnya akan menjatuhkan orang itu sendiri.

3. Menurut Sang Musafir, dunia X&V dalam peta yang tergambar apik di halaman depan nampak sangat sederhana: Satu kota, dua desa, hutan, gunung, gua, Laut Misty, tiga kuil, walaupun ada tambahan satu dunia baru dalam dimensi kegelapan: Vesmir. Sang Musafir lebih memilih “berasumsi” tempat-tempat yang tercantum dalam peta hanyalah yang berhubungan langsung dengan cerita, dan tempat-tempat “tersembuyi” lainnya akan ditambahkan seiring perkembangan cerita.

4. Plot-plot, taktik, intrik yang digunakan dan bahkan jalannya tiap pertempuran disampaikan dengan singkat, padat dan jelas – sederhana tapi cerdas, bisa diterima logika. Anak-anak setingkat SD mungkin akan mudah mencerna cerita ini, dan kalangan dewasa-muda akan menikmatinya. Sang Musafir yang adalah penggemar berat game-game role-playing (RPG) juga menilai kisah ini cukup “RPGlicious” dan “Mangalicious”. Bisa saja suatu hari nanti ada yang akan menawarkan untuk membuat X&V versi game dan manga pada penulis yang biasa dipanggil “Boni” ini.

Kesimpulannya, satu hal yang perlu diingat, bukalah pikiran, mainkan khayalan, buanglah segala mindset yang memperhitungkan faktor klise dan faktor kesederhanaan struktur dunia yang “sedaun kelor” ini. Nikmatilah perjalanannya, dan seperti halnya Sang Musafir, pembaca akan mendapatkan pengalaman yang mengasyikkan dan mengesankan pula, seperti menikmati masakan lezat ala kuliner, satu lagi racikan dari the Chef of Fantasy, Bonmedo Tambunan – compliments to the chef.

Sukses untuk Boni, dan Sang Musafir menunggu dengan sabar (dan penasaran) Xar & Vichattan Buku III. “Xar... Vichattan... Cahaya... Tunggu kedatanganku!” ucap sang Pangeran Kegelapan.

-------------


Kara

Sinopsis: Tiba-tiba di tempat asing itu sebuah suara bisikan terdengar, suara wanita tua yang asing
di telinga Kara. “Kara,” suara itu memanggil namanya. Itu bukan suara Antessa dan bukan pula Petra, suara ini terdengar jauh lebih tua. “Si … siapa?” jawab Kara dalam hati. “Ini aku, Kara, Lisbet.” Kara tidak yakin ia mendengar dengan benar suara itu. Ia berfikir bahwa itu hanya sebuah halusinasi. Namun, ternyata suara itu tidak hanya didengar oleh Kara seorang diri. Antessa pun dapat merasakannya.
“Di manakah kami, Lisbet?” ucap Kara. “Kalian berada di atas lempeng besar. Sebuah lempeng yang berbeda dari lempeng yang lain,” ujar Lisbet. Seketika Kara dan Antessa dibuat bingung dengan perkataan Lisbet mengenai lempeng tersebut.

***


Antessa

Pasukan Kuil Kegelapan terus bergerak maju. Xar, Vichattan, dan Kuil Cahaya kebingungan
menghadapi pasukan Kegelapan yang kian bertambah kuat. Munculnya peri kegelapan yang
meluluhlantahkan para peri pendukung cahaya dan terpecah belahnya keempat ahli waris
cahaya semakin memperburuk keadaan. Belum lagi dengan semakin melemahnya kekuatan elemental dan juga kekuatan Xar karena ulah Khalash serta panglima-panglimanya. Keadaan begitu buruk sehingga para pendukung cahaya harus menggantungkan hidup mereka pada seorang wanita gila dan buku-buku kuno yang dilindungi oleh ilmu sihir mematikan. Titik terang pun muncul, tetapi tak berlangsung lama. Karena tak seorangpun mengira rencana kegelapan yang sebenarnya.


Untuk keterangan lebih lanjut tentang novel ini dan terbitan Adhika Pustaka lainnya, kunjungi:
Penerbit Adhika Pustaka
http://www.adhika-pustaka.com/

No comments:

Post a Comment

Popular Posts