A cozy, romantic cafe. Courtesy of Dino'z Cafe, Jl. Sentani C11/14, Kemayoran, Central Jakarta
Café d’Amor
A Short Story by Andry Chang
Kulangkahkan kakiku yang gemetar
dalam kafe ini.
Rasa sesak merasuk jiwa, menyusupi
kalbu hingga kepala.
Suasana surga di dalam tak jua
menyejukkan hati ini.
Suara-suara terus mendesak, ingin
berteriak, “Mengapa? Mengapa?”
Gadis manis menyambut ceria,
“Selamat datang di Café d’Amor, tempat berseminya asmara.”
Huh, asmara apa? Tak tahukah ia wajahku memendam
prahara?
Tenang, nona. Takkan kuledakkan di
sini. Setidaknya tergantung jawaban yang kudapat nanti.
Jadi, kupaksakan senyum dan
ujaran, “Boleh saya bicara dengan pemilik kafe?”
“Oh, maksud mas Pak Dhimara?
Dengan mas siapa ini? Untuk keperluan apa?”
“Saya Fadli. Urusan saya ini
pribadi, tapi Pak Dhimara pasti akan tahu saat melihat saya.”
Kerutan tergurat di dahi gadis
itu. “Baik, biar saya beritahu bapak dulu,” ujarnya sambil berlalu.
Menanti sejenak, gelisah memuncak.
Hingga tatapan menangkap seorang
pria berjalan mendekat. Tigapuluhan, rupawan, berkacamata, figur panutan
keluarga. Dengan celemek putih membalut kemeja sederhana, kurasa bukan dia
pemilik kafe ini.
“Dengan Mas Fadli?” tegurnya
ramah.
“Ya. Anda Pak Dhimara?”
“Panggil Dhima saja. Mari, kita
duduk dulu.”
Tegur sapa kebapakannya sedikit
menghangatkan baraku. Saat kembali duduk di kursi pink empuk depan meja kaca
putih ini, baraku kembali tersulut.
Harus menahan diri, harus.
“Nampaknya mas sedang ada masalah,
ya?”
Ucapan Dhima membuyarkan
lamunanku.
“Ah, begini…” Tentu saja ada
masalah! Ayo bibir, katakanlah!
“Apakah ada hubungannya dengan
kafe ini?”
Tepat sasaran. Ah, tentu saja.
Kurasa barista seperti Dhima pasti mampu membaca isi hati pelanggan. Tapi, apa
ia siap untuk yang satu ini?
Bibirku bergetar. “Ya. Kafe inilah
sumber masalahnya.”
Dhima tampak terperanjat, bukan
dibuat-buat.
“Jelaskanlah,” ujarnya.
Maka kubeberkan kenanganku.
“Kira-kira dua bulan yang lalu, saya berkencan dengan seorang wanita di sini.
Yah, suasana kafe ini sungguh romantis, tak kalah dengan kafe-kafe bergaya Hispanik di Lisbon, Portugal. Ditambah udara segar dari
taman di luar, benar-benar sempurna seperti slogan anda itu.”
“Ah, ya, Café d’Amor, tempat
berseminya asmara,”
ujar Dhima.
Aku mengangguk. “Ya. Nah, semula
saya ragu menyatakan cinta pada Meisya. Yah, takut ditolak dan sebagainya.
Namun anda, ya, anda datang menyarankan minuman… apa ya…”
“Iced Caramel Macchiato, Toraja Blend. Saya baru ingat itu.”
“Tepat. Kopi keras membangkitkan
keberanian. Saya bersorak saat Meisya menerima cinta saya.”
“Kalau tak salah, foto anda berdua
juga terpampang di dinding depan, bukan?” Telunjuk Dhima menari-nari.
“Tak salah. Tapi sebaiknya anda
cabut saja foto itu, juga slogan anda.”
“Lho, mengapa?” Senyum Dhima
berganti kerutan di dahinya. “Apa yang terjadi?”
“Kami putus seminggu yang lalu.
Tak sampai dua bulan! Huh! ‘Keajaiban Cinta’ kafe anda ini sungguh tak manjur!”
Nah, tumpahlah seluruh sesakku.
Anehnya, Dhimara diam seribu
bahasa. Ia hanya menatapku seperti seorang ayah pada anaknya.
Egoku terusik, emosiku tersulut.
Sebelum amarahku membuncah bagai
kembang api tahun baru, Dhima angkat bicara, “Tenang, Mas Fadli. Nampaknya anda
sedikit salah paham. Yah, terus terang kami sudah sering mendengar keluhan
seperti ini. Dan semuanya itu bersumber dari mitos yang keliru.”
“Mitos? Keliru? Apa maksud anda?
Jangan berbelit-belit!”
Dhima kembali menyela, “Mitos,
anggapan bahwa siapapun yang menyatakan cintanya di tempat ini pasti mendapatkan cinta sejati. Itukah yang
pertama kali menarik anda kemari?”
“Eh, uh…” Memang benar, jaminan
itulah yang membuatku melintas separuh lebar kota kemari. Namun ego melarangku
mengakuinya.
“Tak usah dijawab.” Suara si lawan
bicara menyelamatkan gengsiku. “Entah mitos, word of mouth marketing atau reputasilah yang membuat kafe kami ini
laris. Namun seharusnya setiap pengunjung menyadari satu hal terpenting. Cinta
didapatkan dan dipertahankan lewat usaha dan keputusan. Kami di sini hanya
memberikan suasana dan sajian yang mendukung, sedangkan Tuhanlah yang
menentukan hasil akhirnya.”
“Jadi maksud anda, kafe ini
sesungguhnya tak seperti slogannya?”
“Bukan slogan, tapi mitos. Arti
slogan kafe ini adalah tempat yang cocok untuk menyemai cinta. Bukan
berarti siapapun yang kemari pasti mendapatkan cinta. Mungkin saja ada yang
cintanya ditolak atau belum saatnya diterima. Ada pasangan yang ragu mengambil keputusan,
bahkan memutuskan berpisah. Nah, biasanya mereka ini malu dan enggan
menunjukkannya di depan umum. Sudah banyak pula tamu yang kembali menyampaikan
keluhan seperti mas ini sekarang.”
“Lantas, apa putus cinta ini
semata-mata kesalahan saya?”
Dhima menggeleng. “Ceritakanlah
dulu duduk perkaranya.”
Maka jadilah aku curhat. Selama
menjalin kasih, aku nyaris tak sempat memberi perhatian pada Meisya. Pekerjaanku
sebagai programer menuntut konsentrasi sepanjang waktu, berhari-hari lamanya.
Belakangan, aku mendengar kabar burung Meisya selingkuh dengan teman kantornya.
Saat kutanya, ia mengakuinya dan minta putus dariku saat itu juga.
“Bukan salah siapa-siapa,” tanggap
Dhima. “Kalau Meisya sungguh mencintaimu, setidaknya ia memahami dan menerima
keadaanmu yang tak bisa memperhatikannya sepanjang waktu. Sayang, ia adalah
tipe wanita yang mengharapkan banyak sekali perhatian. Si teman kantor selalu bertemu
dengannya tiap hari, jadi bisa lebih sering memperhatikannya. Kesimpulannya,
kalian memang tidak cocok satu sama lain.”
“Ah, begitukah?”
Perasaanku berbaur, antara lega
dan sesak. Lepas dari perasaan bersalah dan keinginan menyalahkan Meisya dan kafe
ini, namun disesakkan oleh kenyataan kami memang takkan bisa bersatu.
Meisya memang menyebut “kurang
perhatian” sebagai alasan putus cinta. Aku tak pernah memahamai hal yang
sesungguhnya karena ia menimpakan segala kesalahan padaku. Pada siapa lagi harus
kualihkan penghinaan ini, kalau bukan Café d’Amor?
Hanya ada satu cara memperbaiki
kekhilafanku ini.
“Maafkan saya, pak,” ujarku,
tertunduk malu. “Menuduh kafe anda menipu dengan sihir dan guna-guna agar orang
jatuh cinta. Itu sungguh tak pantas dan sangat kekanak-kanakan.”
Dhima membalasnya dengan tawa.
“Tak apa, Mas Fadli. Yang penting sekarang anda sudah tahu kuncinya. Pasangan
yang cocok bagi anda adalah yang bisa menerima dan memahami anda dalam kondisi
sekarang ini. Memang nampaknya akan sulit, tapi saya yakin suatu hari anda akan
menemukan ‘Miss Right’ itu.”
Sebelum aku sempat mengucapkan
terima kasih, mendadak seorang wanita muncul dan menggamit pundak Dhimara. Ah,
aku ingat. Ia si pemain biola yang melantunkan “Besame Mucho” pesananku waktu itu. Mustahil kulupakan wajah cantik
dan figurnya bak bidadari Nirwana itu.
Terlebih suara sehalus diva-nya. “Wah, wah, ada apa ini,
sayang? Seru sekali bicaranya.”
“Haha, hanya langganan lama datang
untuk curhat,” jawab sang suami sambil menggamit lembut tangan istrinya.
“Kenalkan, ini Mas Fadli. Ini istri saya, Yvonne.”
Kujabat tangan wanita itu. “Salam kenal, Bu
Yvonne.”
“Ah, ‘masa Bu? Panggil Yvonne
saja.” Senyumnya mencairkan dinding es yang membentengi hatiku.
Jalan terbuka, pembicaraan kami
bagai bertemunya tiga kawan lama. Tak kusangka, mereka menceritakan hal yang
tak pernah mereka ungkap pada para tamu lain.
Rupanya sebelum menikah Dhimara
dan Yvonne sama-sama full-timer kantoran.
Setelah nikah, Dhima membuka kafe ini untuk sambilan, menghindari macetnya
Ibukota. Saat usaha kafe mulai maju, barulah Dhima mengundurkan diri dari
kantornya dan Yvonne menyusul kemudian. Jadilah keduanya tinggal, mencurahkan
segenap hati, pikiran dan daya-upaya untuk kafe ini, seperti pula kedua anak
mereka.
Barulah kutahu, pernikahan
keduanya bertahan melewati kesulitan luar biasa. Selain masalah keuangan, kesibukan
akibat peran ganda di kafe mengurangi porsi waktu mereka untuk memperhatikan
anak-anak dan masing-masing, apalagi untuk bersenang-senang.
Walau usaha mereka lancar kini,
kesibukan mereka malah bertambah. Hanya lewat komunikasi, rasa saling mengerti,
menghormati dan tenggang rasalah yang membuat bahtera rumahtangga mereka tetap
berlayar meski dalam badai.
Masalahku ini tak ada apa-apanya
dibanding mereka.
Waktu berlalu tanpa terasa, hingga
tiba saatnya aku pamit dengan alasan hari mulai gelap. Yah, hampir waktu
ramainya kafe. Sebaiknya kubiarkan mereka berkonsentrasi pada pekerjaan.
Baru tiga langkah kakiku keluar
dari pintu depan, kupalingkan wajah ke arah trotoar. Tiba-tiba aku tercekat,
seolah baru melihat hantu.
Itu Meisya, bersama… seorang pria
gemuk berkacamata.
Dan mereka sedang berjalan menuju
ke arahku.
Secepat kilat aku berbalik, masuk
lagi di kafe tadi.
Kebetulan Dhima melihatku dan
bertanya, “Lho, ada apa, Fad? Wajahmu kusut begitu?”
“Tolong, biar saya sembunyi
sebentar. Ada Meisya lewat. Saya tak mau dia melihat saya.”
“Hah? Bukankah tak apa? Siapa
tahu…”
“Tak bisa, karena dia bersama pria
lain. Ah, lihat! Mereka kemari!”
“Cepat, sembunyilah di sana!” Dhima menunjuk ke
bar.
Tanpa pikir panjang aku
cepat-cepat duduk, meringkuk di sana.
Hanya mataku yang mengintip dari balik kaca, hingga nona penjaga kasir geleng
kepala.
Tubuhku panas-dingin. Kulihat
mantan pacarku mengambil tempat duduk dekat jendela kafe, persis saat aku
kencan dengannya dulu. Tampak Dhima melayani keduanya, pura-pura tak mengenali
Meisya dan menawarkan kopi Sumatra pada si selingkuhan.
Ingin rasanya kulabrak mereka,
namun Dhima menahanku.
“Lihat saja hasilnya. Jangan
membuat keributan di sini,” ujarnya tegas.
Tak lama kemudian Yvonne
menghampiri pasangan itu. Si pria gemuk bicara dengannya, lalu kembali
bercanda-ria dengan Meisya.
Diiringi “Besame Mucho”… lagu kenanganku!
Menyebalkan! Apa takdir tengah
mempermainkanku?
Memuncaki segalanya, si gendut yang
jauh dari tampan itu menggamit tangan Meisya dengan lembut, mengatakan sesuatu.
Meisya menanggapinya dengan
anggukan, serta senyumnya yang termanis.
“YES! YESS!” Si gendut bangkit dari kursinya, berseru sambil mengepalkan tangan di udara
tanda keberhasilan. “I love you, Meisya!
I love you!”
Teriring Dhimara yang menghampiri
keduanya, memberi selamat.
“Keajaiban” Café d’Amor terjadi lagi.
Dengan telapak tangan kututupi
mataku. Aku tak sanggup melihatnya lagi.
Harus kusembunyikan pula air
mataku yang membuncah ini. Tidak, tak satupun makhluk boleh melihatku menangis.
Cukup jelas, aku gagal kali ini. Tak perlu rasa malu lagi untuk menambah beban
deritaku ini. Bisa kubayangkan foto mereka menggantikan fotoku dengan Meisya di
“Dinding Asmara”.
Tak ada sesuatupun yang dapat
menghiburku kini. Kecuali, mungkin, tangan Dhimara yang menepuk bahuku.
“Sudahlah, tak usah sesali yang
telah terjadi,” ujar Dhima, kembali dengan nada kebapakan. “Ingatlah
pembicaraan kita tadi.”
Aku menegadahkan kepala padanya.
Pembicaraan yang mana?
“Jalan masih panjang,” lanjut si pemilik
kafe. “Suatu hari nanti kau akan bertemu wanita yang mau memahami dan
menerimamu apa adanya. Saat kau menemukannya, ajaklah kemari. Café d’Amor,
tempat berseminya asmara.”
Jakarta, 17 Januari 2012
----------------------------------------------
Advertisement:
DinO'Z CAFE - Coffee Shop
Our F&B:
- Hot & ice blended coffee or non coffee
- Fruit soda + smoothies
- Tea yogurt
- Beer + heinz flover (our special drink)
- Sosis panggang + spaghetti + dim sum
- Roti panggang
- NasGor + indomie selera nusantara
And Other Out Door:
- Cozy Free wifi
- Proyektor (NOBAR) full Music
- Aneka Games
On 5PM - 2AM
More Info:
Dino'z Cafe - Coffee Shop
Jl. Sentani C11/14, Kemayoran - Jakarta Pusat ( blkg PRJ )
pin:28CBCD71
No comments:
Post a Comment