Sunday, December 02, 2012

Cafe d'Amor - Andry Chang


A cozy, romantic cafe. Courtesy of Dino'z Cafe, Jl. Sentani C11/14, Kemayoran, Central Jakarta




Café d’Amor

A Short Story by Andry Chang



Kulangkahkan kakiku yang gemetar dalam kafe ini.
Rasa sesak merasuk jiwa, menyusupi kalbu hingga kepala.
Suasana surga di dalam tak jua menyejukkan hati ini.
Suara-suara terus mendesak, ingin berteriak, “Mengapa? Mengapa?”
Gadis manis menyambut ceria, “Selamat datang di Café d’Amor, tempat berseminya asmara.”
Huh, asmara apa? Tak tahukah ia wajahku memendam prahara?
Tenang, nona. Takkan kuledakkan di sini. Setidaknya tergantung jawaban yang kudapat nanti.
Jadi, kupaksakan senyum dan ujaran, “Boleh saya bicara dengan pemilik kafe?”
“Oh, maksud mas Pak Dhimara? Dengan mas siapa ini? Untuk keperluan apa?”
“Saya Fadli. Urusan saya ini pribadi, tapi Pak Dhimara pasti akan tahu saat melihat saya.”
Kerutan tergurat di dahi gadis itu. “Baik, biar saya beritahu bapak dulu,” ujarnya sambil berlalu.
Menanti sejenak, gelisah memuncak.
Hingga tatapan menangkap seorang pria berjalan mendekat. Tigapuluhan, rupawan, berkacamata, figur panutan keluarga. Dengan celemek putih membalut kemeja sederhana, kurasa bukan dia pemilik kafe ini.
“Dengan Mas Fadli?” tegurnya ramah.
“Ya. Anda Pak Dhimara?”
“Panggil Dhima saja. Mari, kita duduk dulu.”
Tegur sapa kebapakannya sedikit menghangatkan baraku. Saat kembali duduk di kursi pink empuk depan meja kaca putih ini, baraku kembali tersulut.
Harus menahan diri, harus.
“Nampaknya mas sedang ada masalah, ya?”
Ucapan Dhima membuyarkan lamunanku.
“Ah, begini…” Tentu saja ada masalah! Ayo bibir, katakanlah!
“Apakah ada hubungannya dengan kafe ini?”
Tepat sasaran. Ah, tentu saja. Kurasa barista seperti Dhima pasti mampu membaca isi hati pelanggan. Tapi, apa ia siap untuk yang satu ini?
Bibirku bergetar. “Ya. Kafe inilah sumber masalahnya.”
Dhima tampak terperanjat, bukan dibuat-buat.
“Jelaskanlah,” ujarnya.
Maka kubeberkan kenanganku. “Kira-kira dua bulan yang lalu, saya berkencan dengan seorang wanita di sini. Yah, suasana kafe ini sungguh romantis, tak kalah dengan kafe-kafe bergaya Hispanik di Lisbon, Portugal. Ditambah udara segar dari taman di luar, benar-benar sempurna seperti slogan anda itu.”
“Ah, ya, Café d’Amor, tempat berseminya asmara,” ujar Dhima.
Aku mengangguk. “Ya. Nah, semula saya ragu menyatakan cinta pada Meisya. Yah, takut ditolak dan sebagainya. Namun anda, ya, anda datang menyarankan minuman… apa ya…”
“Iced Caramel Macchiato, Toraja Blend. Saya baru ingat itu.”
“Tepat. Kopi keras membangkitkan keberanian. Saya bersorak saat Meisya menerima cinta saya.”
“Kalau tak salah, foto anda berdua juga terpampang di dinding depan, bukan?” Telunjuk Dhima menari-nari.
“Tak salah. Tapi sebaiknya anda cabut saja foto itu, juga slogan anda.”
“Lho, mengapa?” Senyum Dhima berganti kerutan di dahinya. “Apa yang terjadi?”
“Kami putus seminggu yang lalu. Tak sampai dua bulan! Huh! ‘Keajaiban Cinta’ kafe anda ini sungguh tak manjur!”
Nah, tumpahlah seluruh sesakku.
Anehnya, Dhimara diam seribu bahasa. Ia hanya menatapku seperti seorang ayah pada anaknya.
Egoku terusik, emosiku tersulut.
Sebelum amarahku membuncah bagai kembang api tahun baru, Dhima angkat bicara, “Tenang, Mas Fadli. Nampaknya anda sedikit salah paham. Yah, terus terang kami sudah sering mendengar keluhan seperti ini. Dan semuanya itu bersumber dari mitos yang keliru.”
“Mitos? Keliru? Apa maksud anda? Jangan berbelit-belit!”
Dhima kembali menyela, “Mitos, anggapan bahwa siapapun yang menyatakan cintanya di tempat ini  pasti mendapatkan cinta sejati. Itukah yang pertama kali menarik anda kemari?”
“Eh, uh…” Memang benar, jaminan itulah yang membuatku melintas separuh lebar kota kemari. Namun ego melarangku mengakuinya.
“Tak usah dijawab.” Suara si lawan bicara menyelamatkan gengsiku. “Entah mitos, word of mouth marketing atau reputasilah yang membuat kafe kami ini laris. Namun seharusnya setiap pengunjung menyadari satu hal terpenting. Cinta didapatkan dan dipertahankan lewat usaha dan keputusan. Kami di sini hanya memberikan suasana dan sajian yang mendukung, sedangkan Tuhanlah yang menentukan hasil akhirnya.”
“Jadi maksud anda, kafe ini sesungguhnya tak seperti slogannya?”
“Bukan slogan, tapi mitos. Arti slogan kafe ini adalah tempat yang cocok untuk menyemai cinta. Bukan berarti siapapun yang kemari pasti mendapatkan cinta. Mungkin saja ada yang cintanya ditolak atau belum saatnya diterima. Ada pasangan yang ragu mengambil keputusan, bahkan memutuskan berpisah. Nah, biasanya mereka ini malu dan enggan menunjukkannya di depan umum. Sudah banyak pula tamu yang kembali menyampaikan keluhan seperti mas ini sekarang.”
“Lantas, apa putus cinta ini semata-mata kesalahan saya?”
Dhima menggeleng. “Ceritakanlah dulu duduk perkaranya.”
Maka jadilah aku curhat. Selama menjalin kasih, aku nyaris tak sempat memberi perhatian pada Meisya. Pekerjaanku sebagai programer menuntut konsentrasi sepanjang waktu, berhari-hari lamanya. Belakangan, aku mendengar kabar burung Meisya selingkuh dengan teman kantornya. Saat kutanya, ia mengakuinya dan minta putus dariku saat itu juga.
“Bukan salah siapa-siapa,” tanggap Dhima. “Kalau Meisya sungguh mencintaimu, setidaknya ia memahami dan menerima keadaanmu yang tak bisa memperhatikannya sepanjang waktu. Sayang, ia adalah tipe wanita yang mengharapkan banyak sekali perhatian. Si teman kantor selalu bertemu dengannya tiap hari, jadi bisa lebih sering memperhatikannya. Kesimpulannya, kalian memang tidak cocok satu sama lain.”
“Ah, begitukah?”
Perasaanku berbaur, antara lega dan sesak. Lepas dari perasaan bersalah dan keinginan menyalahkan Meisya dan kafe ini, namun disesakkan oleh kenyataan kami memang takkan bisa bersatu.
Meisya memang menyebut “kurang perhatian” sebagai alasan putus cinta. Aku tak pernah memahamai hal yang sesungguhnya karena ia menimpakan segala kesalahan padaku. Pada siapa lagi harus kualihkan penghinaan ini, kalau bukan Café d’Amor?
Hanya ada satu cara memperbaiki kekhilafanku ini.
“Maafkan saya, pak,” ujarku, tertunduk malu. “Menuduh kafe anda menipu dengan sihir dan guna-guna agar orang jatuh cinta. Itu sungguh tak pantas dan sangat kekanak-kanakan.”
Dhima membalasnya dengan tawa. “Tak apa, Mas Fadli. Yang penting sekarang anda sudah tahu kuncinya. Pasangan yang cocok bagi anda adalah yang bisa menerima dan memahami anda dalam kondisi sekarang ini. Memang nampaknya akan sulit, tapi saya yakin suatu hari anda akan menemukan ‘Miss Right’ itu.”
Sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih, mendadak seorang wanita muncul dan menggamit pundak Dhimara. Ah, aku ingat. Ia si pemain biola yang melantunkan “Besame Mucho” pesananku waktu itu. Mustahil kulupakan wajah cantik dan figurnya bak bidadari Nirwana itu.
Terlebih suara sehalus diva-nya. “Wah, wah, ada apa ini, sayang? Seru sekali bicaranya.”
“Haha, hanya langganan lama datang untuk curhat,” jawab sang suami sambil menggamit lembut tangan istrinya. “Kenalkan, ini Mas Fadli. Ini istri saya, Yvonne.”
 Kujabat tangan wanita itu. “Salam kenal, Bu Yvonne.”
“Ah, ‘masa Bu? Panggil Yvonne saja.” Senyumnya mencairkan dinding es yang membentengi hatiku.
Jalan terbuka, pembicaraan kami bagai bertemunya tiga kawan lama. Tak kusangka, mereka menceritakan hal yang tak pernah mereka ungkap pada para tamu lain.
Rupanya sebelum menikah Dhimara dan Yvonne sama-sama full-timer kantoran. Setelah nikah, Dhima membuka kafe ini untuk sambilan, menghindari macetnya Ibukota. Saat usaha kafe mulai maju, barulah Dhima mengundurkan diri dari kantornya dan Yvonne menyusul kemudian. Jadilah keduanya tinggal, mencurahkan segenap hati, pikiran dan daya-upaya untuk kafe ini, seperti pula kedua anak mereka.
Barulah kutahu, pernikahan keduanya bertahan melewati kesulitan luar biasa. Selain masalah keuangan, kesibukan akibat peran ganda di kafe mengurangi porsi waktu mereka untuk memperhatikan anak-anak dan masing-masing, apalagi untuk bersenang-senang.
Walau usaha mereka lancar kini, kesibukan mereka malah bertambah. Hanya lewat komunikasi, rasa saling mengerti, menghormati dan tenggang rasalah yang membuat bahtera rumahtangga mereka tetap berlayar meski dalam badai.
Masalahku ini tak ada apa-apanya dibanding mereka.
Waktu berlalu tanpa terasa, hingga tiba saatnya aku pamit dengan alasan hari mulai gelap. Yah, hampir waktu ramainya kafe. Sebaiknya kubiarkan mereka berkonsentrasi pada pekerjaan.
Baru tiga langkah kakiku keluar dari pintu depan, kupalingkan wajah ke arah trotoar. Tiba-tiba aku tercekat, seolah baru melihat hantu.
Itu Meisya, bersama… seorang pria gemuk berkacamata.
Dan mereka sedang berjalan menuju ke arahku.
Secepat kilat aku berbalik, masuk lagi di kafe tadi.
Kebetulan Dhima melihatku dan bertanya, “Lho, ada apa, Fad? Wajahmu kusut begitu?”
“Tolong, biar saya sembunyi sebentar. Ada Meisya lewat. Saya tak mau dia melihat saya.”
“Hah? Bukankah tak apa? Siapa tahu…”
“Tak bisa, karena dia bersama pria lain. Ah, lihat! Mereka kemari!”
“Cepat, sembunyilah di sana!” Dhima menunjuk ke bar.
Tanpa pikir panjang aku cepat-cepat duduk, meringkuk di sana. Hanya mataku yang mengintip dari balik kaca, hingga nona penjaga kasir geleng kepala.
Tubuhku panas-dingin. Kulihat mantan pacarku mengambil tempat duduk dekat jendela kafe, persis saat aku kencan dengannya dulu. Tampak Dhima melayani keduanya, pura-pura tak mengenali Meisya dan menawarkan kopi Sumatra pada si selingkuhan.
Ingin rasanya kulabrak mereka, namun Dhima menahanku.
“Lihat saja hasilnya. Jangan membuat keributan di sini,” ujarnya tegas.
Tak lama kemudian Yvonne menghampiri pasangan itu. Si pria gemuk bicara dengannya, lalu kembali bercanda-ria dengan Meisya.
Diiringi “Besame Mucho”… lagu kenanganku!
Menyebalkan! Apa takdir tengah mempermainkanku?
Memuncaki segalanya, si gendut yang jauh dari tampan itu menggamit tangan Meisya dengan lembut, mengatakan sesuatu.
Meisya menanggapinya dengan anggukan, serta senyumnya yang termanis.
“YES! YESS!” Si gendut bangkit dari kursinya, berseru sambil mengepalkan tangan di udara tanda keberhasilan. “I love you, Meisya! I love you!”
Teriring Dhimara yang menghampiri keduanya, memberi selamat.
“Keajaiban” Café d’Amor terjadi lagi.
Dengan telapak tangan kututupi mataku. Aku tak sanggup melihatnya lagi.
Harus kusembunyikan pula air mataku yang membuncah ini. Tidak, tak satupun makhluk boleh melihatku menangis. Cukup jelas, aku gagal kali ini. Tak perlu rasa malu lagi untuk menambah beban deritaku ini. Bisa kubayangkan foto mereka menggantikan fotoku dengan Meisya di “Dinding Asmara”.
Tak ada sesuatupun yang dapat menghiburku kini. Kecuali, mungkin, tangan Dhimara yang menepuk bahuku.
“Sudahlah, tak usah sesali yang telah terjadi,” ujar Dhima, kembali dengan nada kebapakan. “Ingatlah pembicaraan kita tadi.”
Aku menegadahkan kepala padanya. Pembicaraan yang mana?
“Jalan masih panjang,” lanjut si pemilik kafe. “Suatu hari nanti kau akan bertemu wanita yang mau memahami dan menerimamu apa adanya. Saat kau menemukannya, ajaklah kemari. Café d’Amor, tempat berseminya asmara.”

Jakarta, 17 Januari 2012



----------------------------------------------

Advertisement:
DinO'Z CAFE - Coffee Shop

Our F&B:
- Hot & ice blended coffee or non coffee
- Fruit soda + smoothies
- Tea yogurt
- Beer + heinz flover (our special drink)
- Sosis panggang + spaghetti + dim sum
- Roti panggang
- NasGor + indomie selera nusantara

And Other Out Door:
- Cozy Free wifi
- Proyektor (NOBAR) full Music
- Aneka Games

On 5PM - 2AM
More Info:
Dino'z Cafe - Coffee Shop
Jl. Sentani C11/14, Kemayoran - Jakarta Pusat ( blkg PRJ )
pin:28CBCD71

No comments:

Post a Comment

Popular Posts